Pesta Demokrasi Indonesia

Pesta Demokrasi Indonesia
Pilih Pemimpin Yang Jujur, Adil, Bersih, dan Amanah

Rabu, 08 Oktober 2008

Pemimpin Muda Kembali Didorong Tampil di 2009

PALEMBANG - Desakan untuk melakukan regenerasi kepemimpinan nasional, kian didengungkan. Wacana untuk mencalonkan pemimpin muda sebagai calon presiden dalam Pemilu 2009 juga semakin marak. Salah satunya desakan itu datang dari Gerakan Persaudaraan Pemuda (Gema Keadilan).

"Sudah saatnya pemimpin muda tampil. Hasil Pilkada di berbagai daerah menunjukkan masyarakat memberikan tanggapan positif terhadap hadirnya pemimpin muda," kata Ketua Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Gema Keadilan, Rama Pratama dalam rilisnya kepada okezone, di acara pembukaan Rapimnas II Gema Keadilan di Palembang, Sabtu (17/5/2008).

Rama mengemukakan, kepemimpinan nasional tahun 2009 sebaiknya diikuti oleh orang-orang yang umurnya di bawah 55 tahun. Dia beralasan, persoalan bangsa demikian besar karenanya butuh pemimpin yang kuat, berani, inovatif, sekaligus memiliki jiwa kenegarawanan. Hal itu, kata Rama, bisa didapat dari pemimpim-pemimpin muda.

Sejarah bangsa Indonesia, lanjut Rama, menunjukkan kaum mudalah yang senantiasa menjadi pelopor perubahan. "Karenanya dalam kondisi bangsa terpuruk saat ini kepeloporan pemuda sangat dibutuhkan," jelas mantan aktivis mahasiswa 98 ini.

Bahkan Gema Keadilan, yang merupakan organisasi sayap pemuda Partai Keadilan Sejahtera (PKS), tegas meminta kepada Presiden PKS, yang hadir pada kesempatan tersebut, untuk tidak ragu-ragu memajukan kadernya dalam pertarungan capres/wapres 2009.

PKS, imbuh Rama, memiliki banyak kader muda yang layak untuk ditampilkan sebagai pimpinan nasional. Selain Presiden PKS Tifatul Sembiring, katanya, ada sejumlah kader muda PKS yang patut dicalonkan. Mereka adalah Hidayat Nurwahid (Ketua MPR), Anis Matta (Sekjen PKS), serta Adyaksa Dault (Menegpora).(ahm)

Rabu, 01 Oktober 2008

Hidup Ini Susah, Gara-Gara SBY-JK,,!!!


Cukup mengejutkan banyak orang ketika tragedi pembagian zakat di Pasuruan terjadi dan menewaskan 21 jiwa pada Senin 15 September kemarin.

Hampir tak dapat dibayangkan, ribuan orang datang dari berbagai desa hanya untuk menerima Rp30.000 dari Haji Syaichon. Jelas ini bukan perkara zakat per se.Ini representasi dari suatu keadaan kompleks fakta kemiskinan di Indonesia. Maka tak ada argumentasi lain yang paling fundamental di balik tragedi ini,selain bahwa inilah potret jernih dari kegagalan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) dalam menciptakan kesejahteraan sosial.

Selama ini Pemerintah berdebat soal data kemiskinan-bahkan SBY sendiri pernah terlibat benturan dengan Jenderal (Purn) Wiranto terkait data kemiskinan Indonesia.Ketua Partai Hanura itu mengutip data Bank Dunia dalam iklan politiknya yang menyatakan bahwa orang miskin di Indonesia mencapai 49,50%. Dalam lembar pidato Presiden SBY pada 15 Agustus 2008 kemarin pun masih terkuak jelas tendensi membalut fakta kemiskinan dengan angka statistik yang sebetulnya bisa direkayasa seperti dilakukan pada pidato kenegaraan HUT RI pada 16 Agustus 2006.

Dalam pidato itu Presiden begitu antusias menyatakan bahwa di masa pemerintahannya telah terjadi pengurangan tingkat kemiskinan penduduk Indonesia dari 23,4% pada 1999 menjadi 16% pada 2005.Tim Indonesia Bangkit (TIB) dan institusi lain mengonfrontasi bahwa data Presiden adalah data usang tahun 2005, yakni sebelum kenaikan harga BBM; padahal kenaikan harga BBM tersebut menyebabkan meningkatnya jumlah penduduk miskin.TIB lalu mencatat eskalasi angka kemiskinan dari 16% per Februari 2005 menjadi 18,7% per Juli 2005 dan 22% pada Maret 2006 (Mediya Lukman, 2006)

***

Tragedi Pasuruan mengakhiri spekulasi dan apologi tentang kemiskinan di Indonesia. Adalah kenyataan yang tak terhindarkan bahwa kemiskinan merupakan kegagalan paling mendasar dari seluruh pemerintah sejak awal berdirinya negara ini. SBY-JK harus menjadi pihak yang paling bertanggung jawab karena sejak awal kampanye kemiskinan selalu dijadikan komoditas politik.SBY-JK berjanji dari tahun ke tahun, bahkan dengan amat meyakinkan,bahwa kemiskinan menjadi masalah prioritas untuk dituntaskan.

Faktanya, pemerintah gagal dan data statistik Badan Pusat Statistik (BPS) yang melansir kemiskinan menurun dari rata-rata 17% pada tahun 2006 ke 16% pada tahun 2007 tidak sepenuhnya representatif dan objektif. Tragedi ini merupakan titik renung paling kritis bagi pemerintah untuk mengevaluasi kinerjanya selama empat tahun yang telah berlalu. Sudah tak ada lagi waktu untuk membenahi keadaan, karena pemerintah harus memikirkan langkah pemenangan Pemilu 2009.

Kita lihat saja, SBY sudah memasang iklan politik, meskipun dalam kapasitas sebagai ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Pemerintah tak lagi mampu untuk mengubah bandul.Perubahan hanya mungkin setelah Pemilu 2009, dengan catatan bahwa muncul pemimpin yang benarbenar memiliki visi dan misi untuk berpihak pada orang miskin. Suatu kepemimpinan yang menempatkan rakyat sebagai tujuan kekuasaan,bukan sekadar alat untuk meraih suara dalam pemilu.

***
Kompleksitas kemiskinan di Indonesia tak gampang diselesaikan hanya dengan model kepemimpinan yang image-oriented, yakni pemerintahan yang selalu berorientasi pada keselamatan citra. Padahal semua orang pun tahu,kepemimpinan sama sekali tak berhubungan dengan citra pribadi.Kepemimpinan menyangkut nasib seluruh rakyat.Perkara kita bukan soal memahami atau tidak memahami postulat teleologi kekuasaan, melainkan apakah punya atau tidak punya komitmen untuk mengabdi.Selama ini,komitmen inilah yang absen dari proses politik.

Ketika SBY-JK pertama kali muncul, seluruh komponen mengharapkan perubahan radikal.Tapi setelah 4 tahun, tetap bergeming. Kotak Pandora permasalahan bangsa ini-yang berkaitan langsung dengan keselamatan rakyat-sama sekali belum terbuka. Apakah salah SBY-JK menempatkan menteri dalam kabinetnya? Apakah ini salah para penasihat yang selalu membisingkan telinga SBY-JK di balik layar? Apakah ini salah para rent-seekers yang menumpuk untung dengan memanipulasi keputusan pemerintah? Atau ini salah SBY-JK sendiri?

Pada titik paling ujung, karena ini menyangkut pemerintahan demokratis yang menganut pola kerja kolegial, kita hanya bisa mempersalahkan SBY-JK karena merekalah yang berada pada puncak paling atas dari piramida kekuasaan ini dan karenanya dalam hierarki liabilitas moral-politik harus paling bertanggung jawab. Saya amat kaget mendengar wawancara Menteri Agama di salah satu stasiun televisi swasta yang tendensius mempersalahkan korban karena telah dengan keputusan sendiri datang ke rumah Haji Syaichon. Apakah masalahnya sebegitu entengnya untuk disederhanakan?

Bukankah kematian 21 orang miskin itu duka nasional yang harus diratapi oleh mereka yang hidup dari jabatan politik? Bukankah kemiskinan rakyat berkah bagi politisi yang sering kali menjual orang miskin untuk meraih posisi? Di sini kita berbicara tentang postulat moral. Bahwa hakikinya, politik itu menyangkut kemaslahatan umum. Siapa pun yang memangku jabatan politik selalu sadar untuk bertanggung jawab atas persoalan-persoalan riil yang berkaitan dengan hidup rakyat.

Sayangnya, hampir tak ada elite politik yang memiliki sense of solidarity dalam konteks moral ini. Ucapan prihatin itu banyak, tapi semuanya politis. Bangsa ini tak akan pernah bangkit dan membangun dirinya menjadi bangsa bermartabat dan berwibawa di dunia internasional kalau tidak mulai dari sekarang belajar menghargai rakyatnya yang paling miskin. (*)

Boni Hargens
Dosen Ilmu Politik UI, Direktur Pusat Pengkajian Strategis Merdeka

Iklan Politik, Apa Salahnya?

Sejak beberapa bulan terakhir kita banyak disuguhi iklan politik, terutama iklan bakal calon presiden Sutrisno Bachir, Rizal Mallarangeng, dan Prabowo Subijanto. Ada kesamaan pendekatan (appeal) di antara ketiganya. Mereka memilih "isu nasionalisme" sebagai strategi pesan iklannya.

Penampilan ketiganya yang boleh dikatakan teramat sering, terutama di televisi, mau tak mau membangkitkan pertanyaan. Di antaranya ada yang mengkritik dari faktor isi iklan: benarkah ketiganya begitu peduli pada nasib bangsa Indonesia?

Benarkah isi iklan itu mencerminkan jati diri mereka yang sebenarnya sebagai figur yang sangat dekat dengan kebutuhan rakyat? Kita menyaksikan ketiga calon itu menunjukkan kepedulian yang luar biasa pada kondisi sosial ekonomi masyarakat kita.

Ada pula yang mengkritiknya dari aspek pendanaan. Berapa besar uang yang mereka miliki mengingat iklan itu barang mewah, mulai dari pembuatannya sampai pemuatannya di media? Ambillah harga termurah, misalnya rata-rata satu juta rupiah untuk sekali tayang 30 detik di waktu non-prime time.

Berapa uang mesti dikeluarkan jika sebuah iklan tayang 2 x 24 jam x 30 hari x 6 stasiun TV? Berapa besar jika ditayangkan dalam waktu satu tahun? Dari mana uang sebanyak itu?

Belum lagi untuk perancangan dan pemasangan iklan di billboard, yang harganya bisa mencapai angka ratusan juta hingga miliaran rupiah sesuai lokasi. Tentu saja kita juga tak bisa memasang iklan secara gratis di koran, majalah, radio, media on-line, bahkan di blog milik seseorang.

Memang harus diakui bahwa iklan yang mereka sampaikan sudah berhasil. Salah satu indikator iklan yang berhasil adalah iklan yang menjadi buah bibir masyarakat. Semakin banyak yang membicarakan, semakin berhasil iklan tersebut. Faktanya iklan mereka banyak diperbincangkan tak kurang oleh para profesor dan para politisi, karuan pula praktisi media dan pemerhati komunikasi politik.

Etika Dasar Iklan

Kehadiran iklan-iklan itu seakan mengganggu kehidupan sosial kita ketimbang memberikan jalan keluar. Ini dikarenakan ada unsur manipulatif di dalamnya. Tidak semua fakta tentang diri sang calon ditampilkan.

Bahkan ada beberapa bagian yang terkesan bertolak belakang dengan hal yang sebenarnya. Tapi apalah daya, itulah iklan. Prinsip dasarnya adalah menciptakan kebutuhan.

Pengiklan bermaksud mempersuasi khalayak agar mau membeli produk yang diiklankan. Untuk ini pendekatan pesan dan strategi media dilakukan. Hanya kata dan gambar serta unsur-unsur iklan lainnya yang memiliki stopping power yang digunakan dalam iklan. Iklan adalah kehendak pengiklan.

Artinya, seperti apa dia beriklan tergantung pada keinginan dalam menampilkan produknya di mata publik. Kita tak boleh lupa bahwa iklan ialah produk komunikasi yang dibayar oleh pengiklan. Tak ada yang gratis dalam iklan. Kalau harus membayar, mengapa tidak digunakan untuk kepentingan pribadi? Begitu kira-kira alasan sederhana setiap pengiklan.

Karena itu tak mengherankan jika para politikus kita yang beriklan menyatakan diri sebagai tokoh heroik bagi bangsanya, tak peduli latar belakang masa lalu dan masa kininya. Mereka membayangkan, sebagai calon presiden seharusnya tampil dengan sosok yang committed terhadap kebangsaan, kerakyatan, dan kenegaraan.

Apakah hal itu melanggar etika umum? Sejauh isi iklannya tidak merusak kesehatan moral masyarakat, tidak mengapa. Bagaimana hal dengan adanya unsur manipulasi karena bakal calon presiden itu tidak menampilkan diri secara utuh? Sebagai bagian dari promosi, iklan berpihak pada kepentingan penjualan, bukan pada pengungkapan fakta.

Sebaliknya dengan pemberitaan. Etika dasar pemberitaan adalah pengungkapan fakta apa adanya. Jika ada berita dibingkai untuk mengunggulkan calon presiden tertentu itu namanya telah melanggar etika pemberitaan. Menurut etika pemberitaan, tak boleh berita dijadikan iklan! Ini juga artinya jika ingin mengetahui rekam jejak dari para calon, carilah dalam pemberitaan, bukan dalam periklanan mereka.

Leader as Communicator

Kalaupun ada yang bisa disalahkan dari iklan-iklan para bakal calon presiden tersebut adalah berkenaan dengan mereka sebagai (calon) pemimpin yang berkomunikasi dengan (calon) yang dipimpinnya. Sebaiknya diketahui ada tiga hal mendasar berkaitan dengan pemimpin sebagai komunikator (Mai and Akerson, 2003).

Pertama, komitmen terhadap organisasi dan tujuannya. Seorang pemimpin harus memiliki tekad yang kuat untuk mencapai tujuan organisasinya (negaranya). Dari aspek ini iklan-iklan politik yang ada belum sepenuhnya mengarah pada upaya pencapaian empat tujuan kita berorganisasi dalam bentuk negara seperti yang diamanatkan Pembukaan UUD 1945.

Kedua, paham dan sadar atas prioritas tujuan organisasi. Tampak dari iklan-iklan yang ada mereka belum sepenuhnya menunjukkan prioritas apa yang hendak dicapai kelak jika menjadi pemimpin negara ini. Kita semua tahu bahwa negara dalam bahaya ancaman korupsi, angka kemiskinan yang masih tinggi, dan ketergantungan pada asing yang mendekati absolut. Kita merindukan pemimpin yang mampu menuntaskan ketiga penyakit yang telah lama menggerogoti negara kita itu.

Ketiga, bertekad dan mampu untuk menolong organisasi menjadi lebih baik. Hampir semua warga merasakan bahwa negara kita berada dalam keterpurukan multidemensional yang berkepanjangan. Banyaknya perilaku asosial baik yang dilakukan oleh aparat terutama korupsi maupun oleh masyarakat terutama ketidakpatuhan sosial, menyebabkan negara bak kendaraan yang kelebihan beban. Membuat negara kita bergerak amat lamban mengejar berbagai ketertinggalan.

Kita membutuhkan seorang pemimpin yang mampu menyelamatkan bangsa ini dari keterpurukan keterpurukan itu. Sayangnya calon-calon pemimpin yang beriklan itu belum sepenuhnya menunjukkan kesiapannya melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Kita tunggu!(*)

Ibnu Hamad
Dosek Ilmu KOmunikasi FISIP UI

Wilayah RI Diterobos Lagi


Ketika berada di Papua beberapa waktu lalu, saya berbincang- bincang dengan seorang perwira TNI yang sudah lama bertugas di sana.

Dengan nada guyon, tetapi nyata dia mengatakan bahwa ketika pesawat terbang asing menerobos perbatasan dan masuk teritori Indonesia di Papua, sekujur tubuh tentara kita yang bertugas menjaga perbatasan di sana sudah terlebih dahulu "menggigil" sebelum mampu memberi tanda peringatan, menembak atau melakukan perlawanan semestinya.

Itu tidak saja disebabkan terbatasnya kemampuan peralatan yang dimiliki dan kondisi posko di perbatasan yang begitu memprihatinkan, tetapi lebih dari itu karena banyak tentara kita di sana telah terlebih dahulu terjangkit malaria yang mengakibatkan badan mereka panas dan menggigil.

Pesan penting yang dapat dipetik dari "guyon" ini adalah bahwa kondisi fisik, pelayanan, dan fasilitas pasukan keamanan yang bertugas menjaga perbatasan wilayah RI--tidak hanya di Papua--harus diperhatikan agar lebih baik dan pantas. Lagipula, belasan pos penjagaan di sepanjang perbatasan RI (Provinsi Papua) dan Papua Nugini (PNG) terletak di lokasi yang sangat terpencil dan rawan malaria.

Menerobos

Terkait dengan kondisi pengamanan wilayah udara Indonesia, khususnya di daerah perbatasan Papua- PNG-Australia, beberapa hari lalu lima warga Australia menggunakan pesawat Cape Air Transport P-68 memasuki wilayah Indonesia secara ilegal.

Tak satu pun di antara mereka memiliki dokumen seperti visa dan izin terbang. Mereka adalah pasangan suami istri William Hendry Scott Bloxam dan Vera Scott Bloxam, Hubert Hofer, Karen Burke, dan Ket Rowald Mortimer.Semuanya menjalani pemeriksaan intensif di Merauke.

Belum ada kejelasan final tentang motivasi dan tujuan orang-orang itu masuk Indonesia. Kehabisan bahan bakar? Tidak mungkin karena bahan bakar pesawat masih cukup. Kerusakan pesawat? Tidak juga. Tersasar? Tidak mungkin karena mereka bukan sekelas nelayan tradisional Indonesia yang sering mencari ikan di perbatasan Indonesia-Australia dan acap ditangkapi penjaga perbatasan Australia.

Ini yang kemudian mengundang kecurigaan sangat serius berbagai kalangan di Indonesia. Apalagi jika dikaitkan dengan kondisi sosial politik, ekonomi, dan keamanan Papua selama ini dan kemungkinan adanya kepentingan terselubung berbagai pihak asing atas situasi dan kondisi tersebut.

Terakhir Menteri Pertahanan RI mengungkap bahwa mereka masuk Indonesia untuk menjajaki bisnis wisata di Papua! Wah, betapa "sederhananya" memasuki teritorial negara lain, dilakukan oleh warga dari negara maju dan berpendidikan baik. Yang pasti, menurut UU No 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, setiap orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia tanpa melalui pemeriksaan oleh pejabat imigrasi di tempat pemeriksaan imigrasi dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp15 juta.

Lalu, kasus "membawa" atau "memasukkan" pesawat terbang tanpa dokumen yang sah tentu terkait pula dengan ranah hukum lain.

Renungkan

Terlepas dari proses hukum selanjutnya terhadap pelanggar wilayah warga Australia itu, ada beberapa catatan penting yang perlu kita renungkan dari kasus tersebut. Pertama, pengawasan dan penegakan keamanan di seluruh wilayah perbatasan RI dengan negara tetangga harus lebih ditingkatkan karena selama ini kita masih lemah.

Pelanggaran wilayah RI oleh berbagai pihak dan armada asing, baik melalui darat, laut maupun udara sudah sering terjadi dan bahkan sudah berlangsung lama, terutama terjadi di wilayah Indonesia bagian timur, termasuk di alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) III. Jangankan di daerah perbatasan yang rawan, jauh di dalam wilayah Indonesia saja telah terjadi berbagai pelanggaran oleh penerbangan asing.

Masih segar dalam ingatan kita, helikopter Mi-8 tanpa dokumen yang mengangkut lima warga negara Rusia dan seorang warga Australia dipaksa mendarat di Makassar setelah terdeteksi radar Pangkalan Udara Hasanuddin.

Pesawat tempur Amerika Serikat F-18 Hornet juga pernah bermanuver di perairan Pulau Bawean, Jawa Timur tanpa izin Indonesia. Hal yang sama juga terjadi di kawasan Indonesia bagian barat, terutama di sekitar Selat Malaka. Sementara satuan radar di Biak memonitor pula bahwa rata-rata sehari ada tiga pesawat asing masuk wilayah Indonesia tanpa izin.

Pelanggaran-pelanggaran tersebut belum termasuk yang terjadi di laut, terutama kapal-kapal nelayan asing yang sering melakukan pencurian ikan di perairan Indonesia. Di perairan Merauke saja, sekitar 7.000 kapal nelayan asing beroperasi setiap tahun. Tidak begitu jelas mana yang legal dan mana yang ilegal.

Kedua, Indonesia dan negara-negara tetangga harus merapatkan barisan dan mempererat kerja sama pengawasan lalu lintas barang dan orang.Kerja sama tersebut tidak hanya "cantik" di atas kertas, tetapi juga menjadi fakta yang benar-benar diterapkan dengan baik di lapangan. Sejauh ini, hubungan dan kerja sama Indonesia dengan negara-negara tetangga Australia, PNG, Filipina, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam pada tingkat pemerintah umumnya telah berjalan baik.

Namun dengan masih ditemukannya sejumlah pelanggaran yang tidak diinginkan, berarti masih ada sesuatu yang belum berjalan sebagaimana mestinya. Ketiga, semakin kita menyadari bahwa pembangunan di daerah perbatasan Indonesia dengan negara lain menjadi sangat penting. Pembangunan infrastruktur dan nasionalisme masyarakat yang terpelihara dengan baik sangat erat kaitannya dan penting dalam upaya pengamanan teritorial dan peningkatan kualitas sosial ekonomi masyarakat di perbatasan.

Sering terjadi selama ini, merawat dan menjaga sekitar 24 patok batas Indonesia-PNG saja di perbatasan sepanjang 800 km bukan main sulitnya. Terkait itu, kesuksesan pembangunan di perbatasan tidak hanya tergantung pada pemerintah pusat, tetapi pemerintah di daerah justru memiliki peran sangat penting dan strategis. (*)

Al Busyra Basnur
Pengamat Internasional (//mbs)

Sabtu, 27 September 2008

Jangan Menjual Indonesiaku

Makin banyak diberitakan keprihatinan tentang makin melunturnya nasionalisme. Makin banyak pula gerakan patriotik yang mencemaskan telah berubahnya "pembangunan " menjadi sekadar "pembangunan di ". Gegap-gempitanya pembangunan di Tanah Air, menggelegarnya tiang-tiang pancang menembus bumi sebagai derap pembangunan di belum menempatkan sebagai Tuan di Negeri Sendiri. Semula berbisik- bisik, lama-lama menjadi pembicaraan terbuka sehari-hari, bahwa banyak pemuda berdasi kita sudah menjadi "jongos" globalisasi.

Keprihatinan di media massa ini haruslah kita syukuri sebagai suatu arus-balik kembalinya kesadaran nasional dan rasa kebangsaan yang akan bisa memperkukuh jati diri Bangsa . Lahirnya Perhimpunan Nasionalis (Pernasindo) yang dideklarasikan Kwik Kian Gie dan kawan-kawan pada 9 Juni 2006, tidak terlepas dari alasan makin intensifnya pelaksanaan kebijakan sistematis ala Konsensus Washington (deregulasi, liberalisasi dan privatisasi).

Demikian pula dideklarasikannya Komite Bangkit Indonesia oleh Rizal Ramli dan kawan-kawan pada 31 Oktober 2007, yang mendapat sambutan banyak kalangan, ruhnya adalah semangat kebangkitan menolak penjajahan (baru), menolak privatisasi kebablasan, menolak kapitalisme, dan imperialisme predatorik yang makin nyata menelikung Indonesia, yang telah memberikan kesempatan berlebih kepada investor-investor luar negeri untuk mendominasi (overheersen-istilahnya kaum Republiken doeloe) lapangan-lapangan usaha strategis di negeri kita.

Di Surabaya, dalam memperingati Hari Pahlawan 10 November (the Glorious November 10th, 1945) akan dikumandangkan nasionalisme dan patriotisme . Akan ditegaskan di situ bahwa untuk Bangsa , " is not for sale".

Posisi Rakyat
Keterpurukan adalah keterperosokan menerima pasar-bebas. Pasar-bebas ibarat menjadi "berhala baru" dalam praktek penyelenggaraan ekonomi. Di harian ini pernah saya kemukakan tentang keprihatinan tentang Daulat Pasar yang menggusur Daulat Rakyat. Bila kita meneropongnya dengan jeli, tidaklah sulit untuk melihat telah terjadinya proses pembangunan berkesinambungan yang menggusur orang-orang miskin, tetapi bukan menggusur kemiskinan.

Berdasar paham Daulat Rakyat maka posisi rakyat dalam pembangunan nasional adalah substansial, namun posisi sentral ini telah direduksi dan rakyat terpojok ke posisi residual. Ibaratnya kepentingan rakyat ditempatkan pada urutan preferensi tambal-sulam, di pinggiran variabel-variabel makro ekonomi konvensional-tradisional, tidak pada preferensi substansial (karena terbatasnya kolom, data dan contoh-contohnya tidak dikemukakan di sini).

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menegaskan penolakannya terhadap liberalisme, kapitalisme, dan ideologi fundamentalisme pasar, yang tentulah sangat kita hargai. Tentu berkaitan pula dengan penolakan ideologi itu, Wapres Jusuf Kalla pun berpendapat seiring.

Wapres tidak menghendaki bank-bank nasional kita berperan sebagai tengkulak - maksudnya bank-bank kita harus tetap berperan sebagai agent of development, tidak sebagai rent-seekers melulu. Namun, kenyataan di lapangan belum sesuai dengan penegasan Presiden dan Wapres di atas.

Barangkali para penerima Hadiah Nobel Ekonomi 2007, Leonid Hurwicz, Eric Maskin, dan Roger Myerson yang tidak memutlakkan mekanisme pasar-bebas dengan "tangan gaib" (invisible hand) senyawanya dapatlah menambah keyakinan para pembaca, bahwa yang dikemukakan oleh Presiden dan Wakil Presiden itu adalah pemikiran yang benar.

Teori para Nobel laureates, yang berujung pada upaya mencapai Pareto efficiency melalui rancangan design mechanism itu, moga-moga menyadarkan para ekonom kita akan error (erroneous)-nya fundamentalisme pasar. Dengan makanisme pasar-bebas (berdasar doktrin perfect individual liberty dan doktrin self-interest-nya Adam Smith), yang kuat (kaya) akan selalu lebih mampu meraih manfaat di pasar. Prinsip Pareto optimal, dalam pengertian dapat tercapainya kondisi efisien, di mana "tidak lagi seseorang bisa beruntung (better-off) tanpa membuat orang lain merugi (worse-off)", maka dalam pasar-bebas yang better-off pastilah yang kaya. Pasar-bebas yang tabiatnya tidak self-correcting dan tidak self-regulating memerlukan campur-tangan pemerintah untuk mengoreksi keserbamenangan pasar (sesuai adagium the winner-take-all).

Nasionalisme Ekonomi
Jauh sebelum Kemerdekaan , para founding fathers kita telah dengan jeli mewaspadai individualisme dan liberalisme Adam Smith. Pada 1934, Mohammad Hatta telah mengemukakan: "...teori Adam Smith berdasar kepada perumpamaan homo economicus.... Akan tetapi orang ekonomi seperti lukisannya hanya ada dalam dunia pikiran...sebab itu dalam praktik laisser-faire - persaingan merdeka (pasar-bebas) - tidak bersua maksimum kemakmuran yang diutamakan oleh Adam Smith.... Ia memperbesar mana yang kuat, menghancurkan mana yang lemah...." Tangan gaib Adam Smith adalah ilusi dan mitos belaka.

Sedang Radjiman Wediodiningrat (1944) menyatakan: "...Adam Smith adalah golongan cerdik pandai yang tidak menganggap pamrih-pribadi (self-interest) sebagai penyakit masyarakat...."

Dalam kaitan dengan Hurwicz, Maskin, dan Myerson, adalah tepat reaksi para ekonom strukturalis yang menegaskan pentingnya kembali melaksanakan Pasal 33 UUD 1945 untuk menghindarkan gugurnya Daulat Rakyat oleh Daulat Pasar. UU Migas (No. 22/2001) dan UU Penanaman Modal (2007) harus secara fundamental ditinjau ulang. Pasal 33 UUD 1945 adalah benteng nasionalisme ekonomi . Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Bumi, air dan kekayaan alam yang dikandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Bagi pemikir strukturalis Indonesia, Soekarno, Hatta, Radjiman, Margono, dan Sumitro Djojohadikusumo, Wilopo, dan seterusnya, kemudian Mubyarto, Sritua Arief, Hartojo Wignjowijoto, Dawam Rahardjo, Bambang Ismawan, Kwik Kian Gie, Rizal Ramli, Kurtubi, I Noorsy, Revrison Baswir, Marwan Batubara, dan seterusnya, maka peran Negara tidak saja untuk mengatasi kegagalan pasar, tetapi untuk mempertahankan Kemerdekaan Indonesia, menolak penjajahan baru.

Nasionalisme Soekarno-Hatta tidak tertundukkan. Dalam rangka memperingati Hari Pahlawan 10 November mari kita mengenang kepahlawanan mereka.

Dalam pledoinya di depan Sidang Pengadilan Den Haag (1928) berjudul "Indonesi? Vrij" (Indonesia Merdeka), Bung Hatta menegaskan: "...lebih baik tenggelam ke dasar lautan daripada menjadi embel-embel bangsa lain...".

Dua tahun kemudian (1930), Bung Karno pun menggugat di depan Sidang Pengadilan Bandung. Dengan pledoinya berjudul "Indonesi? Klaagt-Aan" (Indonesia Menggugat), menegaskan: "...imperialisme berbuahkan 'negeri-negeri mandat', 'daerah pengaruh'...yang di dalam sifatnya 'menaklukkan' negeri orang lain, membuahkan negeri jajahan...syarat yang amat penting untuk pembaikan kembali semua susunan pergaulan hidup itu ialah Kemerdekaan Nasional...".

Namun, beberapa ekonom muda mengibarkan bendera ketertekuk-lututannya dengan membacakan tuah: "nasionalisme itu kuno, masukkan saja dalam saku". Sambil menepuk dada mengagumi buku-buku fiksi baru membacakan proklamasinya: "...this is the end of nation sates, the world is borderless and there is no more free lunch...". Absurditas bertemu dengan mediokritas. Memang sejak awal Kemerdekaan pun ada kelompok Republiken dan kelompok Co (NICA), ada kelompok yang mangusir penjajah dan ada yang mengundang kembali penjajah. Kelompok Co, yang serba hanging-loose dan bermasa-bodoh, tidak merasa perlu untuk tahu ground-zero keberadaannya dalam berperikehidupan nasional.

Posisi rakyat adalah sentral dan substansial, bukan tersubordinasi. Oleh karena itu, doktrin residual Presiden Hoover yang berujung pada teori trickle-down effect (teori rembesan ke bawah), yang menempatkan rakyat hanya berhak akan rembesan, harus kita tolak.

Mari kita kembali ke Pasal 33 UUD 1945 (tanpa menunggu MDGs), mengutamakan kepentingan rakyat seluruhnya sesuai Pasal 27 (ayat 2) UUD 1945, bahwa tiap warga negara berhak akan pekerjaan (antipengangguran) dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (antikemiskinan), sesuai pula dengan Pancasila kita: Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat , merdeka dan rukun bersatu.

(Suara Pembaruan, 9 November 2007)

Upaya Membungkam Perbedaan Pendapat DR.Rizal Ramli (Ketua Komite Bangkit Indonesia)


Sekjen KBI Ferry Juliantono sudah ditahan terkait dengan kasus yang sama. Inisial nama Ferry pertama kali disebut Kepala BIN Syamsir Siregar dan dianggap sebagai orang yang bertanggung jawab. Penahanan Ferry dan pemanggilan Rizal, apakah murni hukum atau karena tekanan politis?

Taufiq Kiemas
Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDI Perjuangan

Rizal Ramli adalah seorang intelektual yang mengerti aturan menyampaikan kebebasan berpendapat. Jadi tidak mungkin melakukan aksi kekerasan atau mendanai aksi unjuk rasa yang anarkhis. Pemerintah tak perlu takut, karena Rizal lebih baik dipanggil secara terbuka dan pemerintah tak perlu takut dengan kritik-kritik Rizal yang membangun, jadi hadapilah saja lah. Saya yakin Rizal tidak melakukan aksi anarkhis dalam menentang kenaikan BBM dan Rizal Ramli tidak akan melarikan diri, dia tentunya akan bertanggung jawab.

Hariman Siregar
Aktivis

Seandainya Rizal Ramli menjadi tersangka, itu merupakan peristiwa politik. Hukum sudah dibawa ke dalam ranah politik. Skenario dibuat untuk menjerat seseorang. Agak aneh karena rizal tidak ada ditempat unjuk rasa. Seharusnya masyarakat bisa menilai. Kalau sampai diadili sama saja dengan membungkam pikiran seseorang. Apa Rizal orang berbahaya? Dia itu kan orang baik-baik. Semua tahu itu.

Arief Budiman
Sosiolog

Saya berfikir demonstarsi waktu itu berjalan damai, ternyata menjadi tidak terkontrol dan menimbulkan kekerasan. Soal Rizal Ramli menjadi sponsor demonstrasi, itu mungkin saja. Tapi kalo Rizal yang menginginkan demonstarsi berubah menjadi rusuh, sepertinya tidak mungkin. Saya mengenal Rizal, karenanya saya tidak mungkin dia melakukan itu. Dia seorang demokrat.

Syamsudin Haris
Pengamat Politik LIPI

Rizal Ramli mengkritik kebijakan pemerintah lalu dibawa kejalur hukum, itu sama saja upaya pembungkaman. Kasus yang menimpa Rizal Ramli itu lebih berbau politis. Tidak murni untuk penegakkan hukum. Jadi wajar bila kemudian Rizal berupaya menyelesaikan masalh itu secara politis juga, yakni dengan menemui para tokoh.

Rudi Satrio
Pakar Hukum Pidana UI

Safari demokrasi yang dilakukan Ketua Umum Komite Bangkit Indonesai Rizal Ramli hal yang lumrah. Ia meminta dukungan kepada tokoh-tokoh tersebut untuk menunjukkan bahwa persoalan yang dihadapinya bukanlah persoalan hukum. Rizal meyakini bahwa berunjuk rasa mengkritik kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM adalah suatu hal yang benar

Hari Lahirnya Pancasila (1 Juni 2008) “PANCASILA yang Tidak Pancasilais ? ”



Sesungguhnya pada tanggal 1 Juni lalu merupakan hari istimewa dalam sejarah bangsa Indonesia. Kelahiran Pancasila yang menjadi dasar negara ini dirayakan. Dalam lima butir sila yang lambangnya tergantung pada perisai di dada burung garuda itu tercerminlah sikap para pendiri negara ini yang menghargai keberagaman Indonesia. Walaupun sampai saat ini makna saling menghargai keberagaman ini masih terisolir dari kehidupan masyarakat Indonesia.

Seperti yang diberitakan, pada tanggal 1 juni bulan lalu terjadi kerusuhan di Monas. Sejumlah massa yang mengenakan atribut Front Pembela Islam, siang tadi melakukan penyerangan terhadap massa Aliansi Kebangsaan dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) di Lapangan Monas Jakarta. Seperti yang dilansir banyak media massa, seharusnya kejadian ini sangat disayngkan dan seharusnya tidak terjadi pada saat peringatan hari kelahiran Pancasila tersebut.

Mengkaji dari kejadian itu semua, tentunya sebagai bangsa yang cerdas tidak akan melihat di satu sisi saja, yakni aksi penyerangan, namun yang perlu kita pertanyakan adalah mengapa ada kelompok yang berani berbuat seperti ini ? Lantas tujuan apa yang di inginkan, apakah untuk pewrsatuan Indonesia ataukah untuk disintegrasi bangsa ?

situasi kemelut sangat di warnai oleh berbagai sinergiskah antara perayaan dengan konteks Indonesia saat ini? Merayakan untuk apa? Dan penghargaan seperti apa yang diinginkan oleh bangsa saat ini ?

Aliansi Kebangsaan dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Di lihat dari partisi kata-katanya merupakan suatu aliansi yang mendasari munculnya liberalisme agama dan berkeyakinan. Jika mengacu pada konteks perjalanan demokratisasi Negara Indonesia sejak tahun berdirinya, jati diri keberagaman dan kebebasan jelas sudah dituangkan dalam UUD 1945. Jika mengacu dari hal ini, maka tidak perlu untuk membuat aliansi yang justru dapat mengundang problematika persatuan bangsa, kerena pada dasarnya kebebasan keyakinan beragama tidak perlu untuk diwujudkan melalui sebuah penekanan organisasi, tapi ini adalah sebuah akidah setiap pemeluk agama untuk menentukan sendiri keyakinannya masing-masing. Semua agama pun tidak ada yang menganjurkan untuk memaksakan keyakinan kepada pemeluk agama lainnya.

Terlepas dari kejadian tersebut, sebenarnya permasalahan bangsa Indonesia bukan hanya terjadi di Monas saja yang hanya menghabiskan waktu untuk memikirkan saudara-saudara kita yang ada di Porong-Sidoarjo tak jelas tanah siapa lagi yang mereka tempati, pembantaian manusia di Poso yang juga dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan agama, Maluku yang sebagian kecil rakyatnya inginkan pisah dari NKRI, begitu pula Aceh. Semua ini terjadi karena tidak adanya rasa keabangsaan dan saling memiliki sebagai manusia yang benar-benar serumpun dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Bangsa Indonesia sudah merasa jenuh dengan kondisi ini, isu-isu liberalisme, pluralisme, dan sekularisme tidak pernah menampakkan keuntungan sedikitpun bagi kemajuan Indonesia akan tetapi semenjak kemunculannya di tanah air beberapa tahun silam bangsa indonseia justru malah tambah “buntung” dibuatnya. fan_baenk

Mahasiswa Dan Kiprah Pilkada Oleh : Baiq. Deviana Marlina Sari


Masih terekam jelas di benak kita, sebuah pesta demokrasi sempat kita rayakan pada tanggal 7 Juli di Bumi Gora.. Dari ujung Ampenan sampai ujung Sape rakyat NTB turut ambil bagian dalam PILKADASUNG ini. Namun tidak sedikit dari mereka yang dapat melihat sosok pemimpin yang dapat membawa perubahan dan harapan bagi NTB. Ada beberapa catatan kecil yang menjadi bahan evaluasi bersama, selama prosesi sakralisasi ini berlangsung,. Mulai dari pencarian calon putera terbaik NTB yang diusung oleh Partai Politik atau koalisi beberapa partai Politik, kampanye politik yang tentunya serangkai dengan janji-janji politik, pemilihan disetiap wilayah, sampai pada terpilihnya Gubernur Baru. Tentunya secara demokratis merupakan hasil suara terbanyak yang dipilih oleh rakyat NTB termasuk mahasiswa pun dirasa memiliki pengaruh besar didalamnya. Lantas seperti apakah peran Mahasiswa sebagai bagian dari penyemarak pesta demokrasi NTB saat itu ? Gebrakan apa saja yang sudah dilakukan dalam mengawali sekaligus mengawasi jalannya PILKADASUNG ?

Melihat perjalanan gerakan mahasiswa dalam mengawali PILKADASUNG ini, banyak pihak yang mempertanyakan eksistensi dan kemurnian gerakannya. Terlebih bagi gerakan mahasiswa yang mengatasnamakan dirinya sebagai ormahas berbasis ISLAM. Alasan inilah yang kemudian diantisipasi dan di tepis kembali oleh mahasiswa jauh-jauh hari sebelum Pilkadasung dimulai. Sejarah telah merekam, di Bumi Gora mahasiswa telah bersuara lantang melalui berbagai bentuk aksi/demonstrasi yang tergabung dalam berbagai ormahas-ormahas Islam lainnya. Aksi ini sudah tak terhitung jumlahnya. Unjuk taring pun terlihat pada saat aksi meredam Isu kartun Nabi Muhammad S.A.W, aksi terhadap Film Fitna dan aksi terhadap korupsi yang dilakukan oleh anggota pejabat pemerintah NTB yang mewarnai sela-sela aktivas mahasiswa, dan rangkaian-rankaian aksi lainnya yang lebih dramatis dan fenomenal. Dengan segenap jiwa dan raga, di bawah terik matahari, bermandikan keringat dan bersimbah debu, mereka menuntut keadilan, ya keadilan atas segala kebobrokan yang dilakukan para pemimpin internasional, bangsa, dan NTB!

Mahasiswa memiliki peran strategis dalam kancah pergolakan bangsa. Disatu sisi mahasiswa mampu mem-presure pemerintah melalui tangan kanannya, disisi lain mahasiswa pun bisa berinteraksi dengan golongan proletar dan sampai masyarakat elit sekalipun. Tak banyak yang dapat dilakukan oleh mahasiswa dalam mengawasi peta ketidak adilan di NTB. Namun paling tidak rakyat bisa mengetahui, bahwa kondisi NTB saat ini lagi mengalami degradaasi kepemimpinan. Pewacanaan mahasiswa dihadapan publik, diharapkan menjadi lumbung inspirasi rakyat dalam berfikir.

Berkaca dari beberapa kasus yang sekiranya memnjarakan rakyat NTB di lubang hitam kemiskinan dan kebodohan, mahasiswa sebagai agent of change dan agent of control, tidak rela jika NTB ini dipimpin oleh tikus-tikus berdasi yang tidak bertanggung jawab dan senang menggrogoti uang rakyat. Padahal dana tersebut bukan untuk digerogoti bersama konco-konconya, tapi harus disalurkan ke perut rakyat sebagai penyambung urat nadi yang semakin hari semakin lemah. Belum selesai kasus korupsi ditangani, pilkadasung NTB pun mengiringi.

Kalau kita bercermin dari pemerintahan gubernur NTB yang masih menjabat sampai sebelum terpilihnya gubernur baru, rupanya banyak kebobrokan pemerintahan yang telah dilakukannya termasuk isu korupsi dana 24,5 milyar yang melibatkan 18 orang pejabat. Bertolak dari polemik seperti ini, mahasiswa tidak tinggal diam. Bahkan, pada saat isu pencalonan Gubernur dan wakil Gubernur waktu itu, ketua Bem Unram 2007-2008 Mawardi Khaeri dan Ketua DPM Unram Hijrah Saputra (sekarang Ketua BEM Unram 2008-2009) mendatangi kantor KPUD NTB untuk mencalonkan diri sebagai cagub dan cawagub 2008-20013 dengan menamakan diri sebagai Kabinet MARAH. Kabinet yang berbasiskan mahasiswa dari aliansi BEM NTB RAYA ini bertujuan membentuk pemerintahan yang anti korupsi dan bebas dari jerat otoriter. Pencalonan mereka sebagai cagub dan cawagub menunjukkan sebuah bukti ketidakpuasan mahasiswa terhadap para pejabat kita yang duduk di kursi pemerintahan.

Para pemimpin seharusnya malu dengan kepiawaian para mahasiwa yang berani menandingi kekuatan mereka. Mahasiswa bukan lagi robot yang hanya belajar di kampus dan tidak tahu dunia luar (seperti zaman orde lama), tapi lebih dari itu, mahasiswa mulai memahami perannya di masyarakat dan bagi keutuhan bangsa dan negara. Dengan kemajuan iptek dan intelektualitas yang tinggi serta jiwa revolusioner yang telah terbentuk oleh lingkungan organisasi, maka mahasiswa merasa perlu untuk mengambil peran dalam berbagai lini kehidupan termasuk sebagai pengontrol kebijakan-kebijakan pemerintah yang dinilai tidak etis dan transparansi.

Tidak terlepas pula dari penyelenggaran pilkada NTB 2008 kemarin. Mahasiswa berhak untuk menghalau segala kebobrokan-kebobrokan yang akan terjadi selama pilkada berlangsung. Di samping itu, pada dasarnya mahasiswa berkewajiban untuk memperlancar proses pilkada 2008 agar NTB betul-betul mampu menyaring cagub dan cawagub yang dapat mengangkat harkat dan derajat NTB di mata nasional dan internasional.

Tak ada kata yang pantas untuk membuat sebuah perubahan selain BERGERAK !!! totalitas dalam perjuangan akan menjadi bukti kesungguhan mahasiswa dalam mencapai tujuannya. Hasan Al Banna telah menulis sebuah ungkapan yang bergitu indah tentang sosok pemuda (mahaiswa). ”Generasi muda pada setiap bangsa merupakan tiang kebangkitam, pada setiap kebangkitan mereka adalah rahasianya, dan pada setiap gagasan, mereka adalah pembawa benderanya.. Sebuah pemikiran itu akan berhasil diwujudkan manakala kuat rasa keyakinan kepadanya, ikhlas dalam berjuang dijalannya, semakin bersemangat dalam merealisasikannya dan kesiapan beramal dan berkorban untuk mewujudkannya. Itu semua tidak terdapat pada siapapun keculai hanya ada pada diri PEMUDA”.

PILKADASUNG telah berakhir, aktivitas pun diharapkan akan kembali normal. Sepatutnya tidak ada lagi perpecahan antar tim sukses, walaupun ironisnya ada tim sukses yang tidak sukses atau sebaliknya tim sukse yang larut dalam glamoria kemenangan. Pesta demokrasi yang telah kita rayakan ini akan menjadi bukti nyata dari sekian putera terbaik daerah NTB yang pantas memimpin negeri Bumi Gora tercinta ini. Kedepan insya Allah mahasiswa akan lebih progresif, revolisioner dan professional dalam menyikapi permasalahan NTB.

Situs RUU BHP

Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). KAMMI NTB menyadarkan kepada pembaca kembali, perihal isi dan maksud RUU tersebut.
Silahkan di apload lewat http dibawah ini :
http://pih.diknas.go.id/bhp/wp-content/uploads/2007/12/1262007125956naskah_uji_publik_ruu_bhp-_5_des_2007.pdf

RUU BHP, PT Harus Jaring Mahasiswa Miskin


BANDUNG, Setiap perguruan tinggi dalam rancangan undang-undang badan hukum pendidikan (RUU BHP) harus menjaring 20 persen mahasiswa miskin atau lemah secara ekonomi, namun berpotensi dari total penerimaan mahasiswa barunya. Selain itu, mereka juga berkewajiban memberi beasiswa sebesar 20 persen dari jumlah mahasiswa terdaftar.

Dua kewajiban itu menurut anggota tim perumus Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) Sekretaris Majelis Pendidikan, Direktorat Pendidikan Tinggi Dewan Pendidikan Tinggi, Depdiknas, Prof Dr Johannes Gunawan, harus dipenuhi oleh setiap perguruan tinggi. Apabila tidak dipenuhi, penyelenggara pendidikan bisa dikenakan sanksi administratif.

Sampai dicabut haknya untuk menyelenggarakan pendidikan,” kata guru besar Hukum Perdata dan Hukum Perlindungan Konsumen di Universitas Parahyangan, Bandung ini kepada SP di ruang kerjanya di Bandung, Kamis (4/9).

Dia mencontohkan apabila dalam masa tahun ajaran baru sebuah perguruan tinggi menerima 2.000 mahasiswa baru, maka 400 orang di antaranya harus berasal dari kalangan yang lemah secara ekonomi. Hal yang sama juga berlaku untuk perguruan tinggi swasta.

Semuanya nanti dievaluasi oleh Dikti (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi),” ujarnya. RUU tersebut, hanya memperbolehkan setiap perguruan tinggi membebankan 30 persen dari total biaya operasionalnya kepada mahasiswa. “Sisanya didapat dari negara, BHP yang bersangkutan, juga dari pemerintah daerah, serta masyarakat,” tambah Johannes.

Setiap perguruan tinggi tetap mendapatkan bantuan dana dari pemerintah apabila RUU BHP ini sudah disahkan. Hanya saja polanya berubah, dari
semula anggaran yang dialokasikan menjadi bentuk dana hibah.

“Uangnya tetap ada, hanya distribusinya yang berbeda. Besaran jumlahnya juga tergantung dari kinerja masing-masing perguruan tinggi, sehingga tidak seperti sekarang, mau baik atau buruk tetap dapat,” terangnya.

Johannes mengungkapkan setiap perguruan tinggi itu diberi waktu minimal enam tahun untuk menyesuaikan diri dengan pola pemberian dana hibah. Dana hibah baru diberikan pada tahun ke-tujuh, hanya kepada perguruan tinggi yang baik kinerjanya.

Batasan dalam RUU itu, paparnya, juga sudah cukup jelas. Apabila ada yang terbukti melanggar prinsip nirlaba atau mencari keuntungan dari
sisa hasil kegiatan yang tidak ditanamkan kembali ke dalam BHP dapat dipidana.

“Berupa penjara paling lama lima tahun dan dapat ditambah dengan denda paling banyak Rp 500 juta. Kalau lebih harus kembali jadi investasi. Jadi di bagian mananya yang memungkinkan komersialisasi kalau kita sepakat itu sebagai mencari untung atau laba,” tutur Johannes.

Dia juga membantah kalau RUU tersebut dianggap sebagai penyerahan sebagian tanggung jawab pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan
kepada masyarakat. Terlebih, Mahkamah Konstitusi mengharuskan alokasi anggaran sebesar 20 persen untuk pendidikan dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) mulai tahun depan.

“Jadi, ada sekitar Rp 224 triliun tahun depan untuk pendidikan, masa bisa disebut pemerintah lepas tanggung jawab,” tukasnya.

Tetap Khawatir

Terkait pendanaan BHP, Johannes menuturkan alokasi terbesar buat perguruan tinggi negeri masih dari pemerintah. “BHP juga bisa dapat dari kegiatan penelitian, sewa laboratorium serta dari sumbangan masyarakat seperti wakaf dan hibah,” tandas Johannes.

Sebelumnya, pengamat pendidikan dari Perguruan Taman Siswa, Darmaningtyas menyatakan tetap khawatir dengan RUU BHP, karena bisa membuat akses orang miskin untuk pendidikan makin kecil. Menurut dia, memang di RUU tersebut diatur soal tanggung jawab pemerintah, tetapi implementasinya sulit, kerena mekanisme kontrolnya tidak jelas.

Dalam RUU tersebut juga terdapat sanksi pidana bila tidak dilaksanakan. Tetapi, sanksi dimaksud hanya untuk perseorangan, sementara sanksi untuk pemerintah secara institusi tidak diatur, sehingga apabila pemerintah tidak memenuhi kewajibannya, tidak bisa diberi sanksi.

Pelajaran Dari Kejatuhan Antek AS Bernama Pervez Musharraf


Usai sudah perseteruan antara Koalisi Pemerintah dengan Rezim Presiden Pervez Musharraf. Musharraf menyatakan mengundurkan diri pada Senin (18/8) tanpa menggunakan hak konstitusinya untuk membubarkan Parlemen, tapi benarkah keberhasilan penggulingan jenderal Musharraf adalah hasil kerja keras 100 persen Koalisi Pemerintah atau ada dibalik itu peran AS yang menekan Musharraf agar mengundurkan diri dengan imbalan jaminan keselamatan dan tidak dipermasalahkan di depan hukum?

Koalisi Pemerintahan Pakistan, oleh para pengamat Pakistan, dianggap tidak mampu memaksa Presiden Musharraf mengundurkan diri, seandainya tidak ada intervensi AS yang mendesak Musharraf mengundurkan diri. Menurut mereka, penggulingan Musharraf adalah hasil koordinasi antara Koalisi Pemerintah Pakistan dengan Pemerintah Gedung AS. Jauh hari sebelum penggulingan Musharraf, PM Pakistan, Syed Yousaf Raza Gillani berkunjung ke AS dan diterima oleh Presiden AS George Bush di Gedung Putih.

Kunjungan itu merupakan awal dimulainya skenario penggulingan Presiden Pervez Musharraf. Seminggu sebelum kejatuhan Presiden Musharraf, Kemlu AS mengintensifkan kontak dengan Musharraf yang memintanya agar tidak menggunakan kewenangannya membubarkan Parlemen.

Lantas apa sesungguhnya motif AS memberi restu penjatuhan Musharraf, setelah selama satu dekade menjadi negara sekutu utama AS dalam perang melawan terorisme ? apakah pengorbanan Musharraf tidak cukup untuk tetap mendapatkan ‘restu’ dari Pemerintah AS.

Paling tidak ada tiga sebab yang melatar belakangi sikap AS yang memberi lampu hijau bagi penjatuhan Musharraf :

Pertama, Pemerintah Gedung Putih memandang keberadaan Musharraf di tampuk pimpinan Pakistan sudah tidak bisa diharapkan mampu membantu mewujudkan skenario AS di kawasan, bahkan cenderung menambah beban bagi AS. Musharraf dinilai sudah tidak mampu lagi membendung kekuatan Taliban di Afghanistan yang semakin membesar, dengan bukti semakin intensifnya serangan-serangan kelompok ini terhadap pasukan NATO di Afghanistan. Selain itu, berbagai kebijakan Presiden Musharraf justru membuat kekuatan perlawanan Islam di Pakistan semakin kuat, khususnya di Pakistan bagian Selatan.

Kedua, AS kecewa dengan kinerja Musharraf dalam beberapa tahun terakhir. AS sesungguhnya berharap, kombinasi kepemimpinan sipil dan militer di Pakistan akan saling bekerjasama untuk lebih mendorong usaha-usaha untuk memerangi kelompok Islamis di Pakistan, tapi yang terjadi justru sebaliknya, konflik internal di Pakistan justru mengarah kepada konflik antara militer dan sipil, antara kubu pro demokrasi dan dictator, bukan konflik antara Pemerintah melawan kelompok-kelompok Islamis pro Taliban. Dalam konteks ini, maka AS harus memilih salah satu kubu yang bertikai. Salah satu harus dihilangkan.

Ketiga, kondisi internal Pakistan yang tampak telah merasa bosan dengan keberadaan Musharraf, akibat terus memburuknya kondisi ekonomi dalam negeri. Sehingga mempertahankan Musharraf yang tidak disukai rakyatnya sendiri menjadi tugas yang berat bagi AS. Maka AS memilih menghilangkan Musharraf karena jauh lebih mudah daripada menyingkirkan Koalisi Pemerintah.

Ketiga sebab geo-politik itulah yang akhirnya mendasari kebijakan Gedung Putih untuk memilih Koalisi Pemerintah Pakistan daripada Pervez Musharraf.

Namun, AS pun kembali mensyaratkan loyalitas kepada Pemerintah Gedung Putih dan komitmen memerangi terorisme sebagai syarat utama bagi pemerintah baru Pakistan jika ingin mendapat dukungan dan restu dari AS. Hal ini tampak dari pernyataan Presiden George.W.Bush pada Senin 19/8 yang mengatakan bahwa Pemerintah AS akan tetap bekerja sama dengan Pakistan selagi pemerintah yang baru di Pakistan tetap memerangi terorisme dan kooperatif dengan Gedung Putih.

Kejatuhan Presiden Musharraf seharusnya menjadi pelajaran bagi “antek-antek” AS dimanapun dan kapanpun bahwa jika peran dan tugasnya telah berakhir maka akan dicampakan oleh sang tuannya tanpa penyesalan sedikitpun, meski telah memberikan pengorbanan yang besar dan bahkan meski telah mengorbankan kepentingan rakyatnya sendiri.

Tidak pernah ada dalam sejarah kepresiden Pakistan yang senekad Pervez Musharraf dalam mengkhinati kepentingan rakyatnya sendiri. Presiden Musharraf adalah Presiden Pakistan pertama yang melepas Khasmir dan menganggapnya sebagai tanah milik India. Musharraf-lah yang pertama kali mengeluarkan pernyataan bahwa penyelesaian masalah Khasmir cukup dengan memberikan hak otonomi yang diperluas.

Musharraf-lah Presiden Pakistan pertama yang memerintahkan penutupan camp mujahidin Khasmir yang ada di Pakistan dan orang pertama Pakistan yang mempersilahkan NATO dan AS untuk menggunakan Bandara, pelabuhan dan wilayah udaranya untuk kepentingan penyerangan Afghanistan tahun 2002. Presiden Musharraf juga yang pertama kali memulai program pengalihan sekolah-sekolah agama di Pakistan menjadi sekolah-sekolah umum, serta di bawah pemerintahan Musharraf-lah, program nuklir Pakistan berada dibawah pengawasan IAEA dan dunia internasional, meski demikian Musharraf tetap dicampakan oleh AS. [syarif/dari berbagai sumber/www.suara-islam.com]

Konflik Kaukus Berkembang Menjadi Perseteruan Poros Kekuatan Utama Dunia


Konflik Kauskus yang dipicu oleh agresi seranga Georgia terhadap Ossetia Selatan telah berkembang menjadi perseteruan yang melibatkan poros-poros kekuatan utama dunia meliputi Rusia, Uni Eropa dan NATO yang dikomandoi AS.

Langkah Rusia yang mengakui kemerdekaan Ossetian Selatan dan Abkhazia ditentang keras oleh Eropa dan AS yang menganggap kedua negara kecil itu masih menjadi bagian dari wilayah Georgia. Langkah Rusia itu juga telah menyulut ketegangan baru antara Rusia dan NATO, yang mengingatkan kembali dimulainya perang dingin antara AS dan Uni Sovyet pada tahun 80-an.

AS marah besar terhadap langkah Rusia itu. Presiden AS George W. Bush mengancam akan membawa masalah Ossetia Selatan dan Abkhazia ke sidang Dewan Keamanan (DK) PBB. Menurut Presiden Bush, berdasarkan Resolusi DK PBB, Ossetia Selatan dan Abkhazia adalah wilayah di bawah territorial Georgia dan menjadi bagian dari negara itu yang diakui dunia internasional.

“Langkah Rusia itu tidak akan berpengaruh sedikit pun di lapangan namun hanya akan mempersulit proses penyelesaian melalui negosiasi dan memperkeruh keadaan,” ungkap Bush dalam pernyataanya di Washington pada Selasa (26/8).

Sementara, Uni Eropa, Inggris, Perancis, Jerman dan Swedia menyatakan langkah Rusia itu menyalahi legalitas internasional, sementara Inggris menyerukan dibentuk Koalisi Eropa untuk menghadapi apa yang disebutnya “agresi Rusia”.

Georgia Meminta Pertolongan

Memanfaatkan situasi ketegangan di Kauskus, Georgia tampak memanfaatkannya untuk mendesak Eropa dan NATO untuk segera menerima keanggotaan Georgia di NATO maupun Uni eropa. Presiden Georgia Mikhail Sakasvili dalam sebuah pernyataannya di Tbilis pada Selasa (26/8) meminta negara-negara Uni Eropa dan NATO segera memasukan Georgia ke dalam keanggotaan NATO maupun Uni Eropa sebagai langkah untuk mencegah perluasan wilayah Rusia setelah negara itu mengakui kemerdekaan Ossetia Selatan dan Abkhazia.

“Bukan untuk menolong Georgia saja, tapi untuk menyelamatkan demokrasi dan iklim kebebasan” tegas Presiden Georgia Mikhail Savaaliski. Menurutnya, langkah Moskow itu bertujuan untuk mengubah batas wilayah Uni Eropa dan memperluas pengaruh Rusia di kawasan Asia Tengah.

Rusia Balik Menuduh AS Persenjatai Militer Georgia

Merespon tuduhan AS itu, Presiden Rusia, Demitry Medvedev menuduh AS telah mempersenjatai Georgia melalui pengiriman kapal perang dengan kedok bantuan kemanusiaan dan obat-obatan. Tiga kapal perang AS dijadwalkan akan tiba di pelabuhan Touty Geogia pada Rabu (27/8), dan kapal perang AS lainnya juga dijadwalkan akan tiba di Georgia dalam beberapa hari kedepan.

Presiden Rusia menganggap kedatangan kapal-kapal perang AS itu tidak produktif untuk meredakan ketegangan dan suasana konflik, tapi justru sebaliknya akan memperkeruh suasana. Rusia juga memutuskan untuk membekukan hubungannya dengan NATO dan menolak bekerjasama dengan pakta pertahanan yang menaungi Eropa dan AS itu.

Dalam perkembangan lainnya, Dephan AS mengatakan pasukan Rusia belum ditarik dari seluruh wilayah Georgia sesuai kesepakatan gencatan senjata, meski sebagian besar pasukan telah ditarik mundur. Sementara itu, Rusia beralasan, keberadaan pasukan Rusia di beberapa wilayah di Georgia masih diperlukan untuk menjamin negara itu tidak melakukan agresi terhadap Ossetia Selatan. Pemerintah Rusia masih menunggu mekanisme pengamanan internasional yang mampu menjamin keamanan Ossetia Selatan dan Abkhazia. [syarif/alj/www.suara-islam.com]

Mengawal Visi Kebangsaan KAMMI


Oleh Ramlan Nugraha
Peserta Pra Muktamar KAMMI VI
Sekretaris Umum KAMMI Daerah Bandung

Pra Muktamar KAMMI yang dilaksanakan di Jakarta, 20-21 Agustus 2008 kemarin akhirnya menyepakati adanya perubahan haluan organisasi yang termaktub dalam visi kebangsaan KAMMI. Pada periode 2006-2008 visi kebangsaan KAMMI menekankan pada wilayah perbaikan dan pengawalan good governance (pemerintahan yang baik) dengan indikator seperti tumbuhnya tradisi dan koridor demokrasi, akuntabilitas, transparansi kebijakan, partisipasi publik dan pengawalan dominasi politik.

Penekanan ini memberikan turunan kepada masing-masing daerah agar mempunyai dan memantapkan visi kedaerahannya masing-masing. Stressing point pada pengawalan good governance akan berbeda di setiap daerah tergantung dari masalah sentral daerah tersebut.

Haluan organisasi kedepan adalah membumikan nilai dan prinsip Islam secara obyektif dalam beragam ruang publik pada seluruh aspeknya. Hal ini mengindikasikan bahwa tugas kita bukan hanya sekedar mencari atau mengarahkan segenap sumber daya dan potensi politik lainnya untuk mendukung prinsip Islam tetapi sudah dalam tataran bagaimana membumikan prinsip Islam. Dalam wilayah teknis misalnya, pengawalan terhadap good governance tetap dilakukan tetapi dengan penajaman pada tawaran perubahan yang diusung KAMMI.

Secara umum, penjelasan garis besar dari perubahan tersebut adalah :

1. Indonesia yang membumikan nilai dan prinsip Islam secara obyektif dalam beragam ruang publik pada seluruh aspeknya.

Garis besar :

  • Meyakini dan memahami bahwa perkembangan dakwah Islam di Indonesia semakin hari mengalami kemajuan maka komitmen untuk menerapkan prinsip Islam harus menjadi perhatian utama segenap kaum muslimin. Indonesia yang mempunyai penduduk muslim terbesar adalah harapan bagi seluruh kaum muslimin di segenap penjuru dunia.
  • Indonesia harus menjadi pelopor dalam penerapan prinsip Islam dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
  • Melakukan optimalisasi kerjasama dengan berbagai elemen bangsa dan negara yang mendukung nilai dan prinsip Islam diterapkan di bumi Indonesia.

2. Indonesia yang demokratis ditandai dengan tumbuhnya tradisi demokrasi, koridor demokrasi, akuntabilitas, transparansi kebijakan, partisipasi publik, dan dominasi politik yang mendukung perbaikan dan membumikan nilai-nilai Islam.

Garis besar :

  • Peran setiap pejabat pemerintah adalah sebagai pemimpin dan pelayan masyarakat. Kedua peran tersebut harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab. Penyimpangan atas hal tersebut dapat menjadikan roda pemerintahan berjalan tidak baik dan mengabaikan kepentingan masyarakat.
  • Terciptanya good governance (pemerintahan yang baik) menjadikan masyarakat sebagai orientasi pelayanan dan pengambil keputusan.
  • Semua elemen bangsa dan negara harus tetap aktif melakukan proses kontroling terhadap kinerja pemerintah. Hal ini diharapkan sebagai pemacu pemerintah untuk bisa melaksanakan tugasnya dengan baik.
  • Kerjasama dan dukungan harus diberikan kepada setiap elemen bangsa dan negara termasuk pemerintah yang mempunyai i’tikad kuat dalam mendukung dan membumikan nilai-nilai Islam dalam setiap ruang publik.

Salain itu, hal yang juga harus menjadi titik perhatian kita adalah evaluasi nasional atas target visi kebangsaan sebelumnya harus menjadi wilayah tersendiri yang mesti kita lakukan. Perubahan atas visi kebangsaan juga mutlak dilakukan sebagai repositioning gerakan dalam membaca zaman. Tetapi dengan sendirinya ketika bacaan organisasi seperti evaluasi visi kedaerahan masing-masing KAMMI Daerah tidak dilakukan atau mungkin sama sekali tidak diketahui maka perubahan visi kebangsaan ini akan berjalan pincang. Bagi daerah yang siap secara infrastruktur dan kematangan strategi gerakan,maka hal ini mungkin tidak terlalu masalah, tetapi berbeda sebaliknya pada daerah yang belum matang secara infrastruktur maupun strategi gerakan maka hal ini membutuhkan proses yang agak lama.

Perubahan visi kebangsaan hasil Pra Muktamar sebenarnya tidak terlepas dari pergantian mihwar (tahapan) yang dilakukan berdasarkan prinsip gerakan KAMMI, yaitu dari Perbaikan adalah tradisi perjuangan KAMMI menjadi Kepemimpinan umat adalah strategi perjuangan KAMMI.

Prinsip Gerakan KAMMI :

a. Kemenangan Islam adalah jiwa perjuangan KAMMI
b. Kebathilan adalah musuh abadi KAMMI
c. Solusi Islam adalah tawaran perjuangan KAMMI
d. Perbaikan adalah tradisi perjuangan KAMMI
e. Kepemimpinan umat adalah strategi perjuangan KAMMI
f. Persaudaraan adalah watak muamalah KAMMI

Sepuluh tahun usia KAMMI setidaknya telah memberikan dasar-dasar pemahaman gerakan bahwa KAMMI lahir sebagai entitas yang mengorientasikan perjuangannya pada proses perbaikan. Semua aktifitas yang dilakukan berlandaskan pada proses perbaikan. Semangat ini tidak hanya menjadi slogan semata tetapi telah menjadi tradisi pada diri semua anggota maupun gerakan dan masyarakat Indonesia pun secara umum sudah mengetahui hal ini.

Gerakan Mahasiswa yang Dinamis

Menyadari bahwa militansi dan intelektualitas masih menjadi modal gerakan, maka proses perbaikan harus dilakukan setiap waktu. Perubahan visi kebangsaan KAMMI akan mengarahkan organisasi ini pada dua wilayah, yaitu proses pendewasaan gerakan dan kemantapan dalam memimpin perubahan. Peningkatan lingkup tujuan yang asalnya hanya dalam tataran mewujudkan masyarakat Islami menjadi bangsa dan negara yang Islami, juga jelas mempunyai implikasi tersendiri bagi gerakan dan semua kader pada khususnya.

1. Pendewasaan dalam gerakan

Perubahan visi kebangsaan KAMMI bukan senantiasa melihat kondisi kedepan bahwa Indonesia akan mengalami momentum besar seperti Pemilu dan sebagainya, bukan itu. Pemilu 2009 hanyalah sebagian kecil tahapan yang harus dilakukan oleh gerakan dalam proses pendewasaannya. Pendewasaan yang dimaksud adalah sebuah proses pembelajaran terus menerus yang dilakukan oleh KAMMI dalam capaian menuju progresivitas gerakan. Landasan pandangan progresivisme adalah :

“Mengapa kamu tidak mempercayai kebesaran Allah, padahal Dia menjadikan kamu melalui proses setingkat demi setingkat. (QS. Nuh : 13-14)

Progresivisme dalam Islam diartikan bahwa sebuah proses yang dilakukan dengan meyakini adanya nilai-nilai Ilahiyah yang membimbing segala potensi perubahan tersebut. Progresivisme ini sangat berbeda dengan konsep Pendidikan Sepanjang Hayat (PSH) atau “Education is the process without end” ala John Dewey. Konsep PSH yang dijadikan rujukan utama Departemen Pendidikan Nasional sampai sekarang ini bersifat pragmatis, atau dalam bahasa Prof. H. Muzayyin Arifin, konsep ini menafikan/menghilangkan nilai-nilai absolut, bahkan lebih bercorak sekularistik dalam nilai-nilai, sehingga nilai-nilai kultural relativisme menjadi dasar pegangan dalam proses kependidikan.

Dalam Surat Al-An’am 74-79, proses pencarian Tuhan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim As. menjadi sebuah contoh sebuah progresivitas dilakukan.

(74). Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya Azar “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan ? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.”

(75). Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin.

(76). Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata : “Inilah Tuhanku”. Tetapi tatkala matahari itu terbenam dia berkata : “Saya tidak suka kepada yang tenggelam”.

(77). Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata : “Inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata : “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.”

(78). Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata : “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”, maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata : “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.

(79). Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”

Dalam tataran organisasi, progresivitas dalam diri KAMMI mutlak dilakukan. Tetapi sekali lagi, perubahan dan implikasi turunannya harus tetap berpegang teguh kepada nilai-nilai Ilahiyah bukan berdasarkan aspek politis atau kekuasaan semata. KAMMI harus menjaga prinsip ini, kalau tidak, bersiap saja dicap sebagai gerakan pragmatis. Na’udzubillah.

2. Kemantapan dalam memimpin perubahan

Beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dari seorang pemimpin adalah kemantapannya dalam memimpin perubahan. Mari ambil pelajaran dari apa yang dilakukan oleh Sheikh Mohammed bin Rashid al Maktoum, Presiden Uni Emirat Arab (UEA) yang berhasil mengubah padang pasir menjadi pusat ekonomi dunia.

Dalam bukunya RE-CODE, Rhenald Kasali mengatakan bahwa “Hampir semua negara punya perencanaan, tetapi tak semua negara menghasilkan kesejahteraan. Sheikh Mohammed menyadari pentingnya rencana, tetapi bukan sekedar rencana. Baginya setiap rencana harus mengandung tiga hal, yaitu Filosofi, Prioritas, dan Disiplin.”

Mari kita simak apa yang dikatakan oleh Sheikh Mohammed :

“Saya tidak tahu apakah saya dapat disebut sebagai pemimpin yang baik, tetapi saya adalah seorang pemimpin. Dan saya mempunyai visi. Maka saya sudah membayangkan 20 tahun, 30 tahun ke depan. Saya belajar dari ayah saya, Sheikh Rashid. Dialah pemimpin, bapak bagi rakyat Dubai. Saya mengikuti langkah-langkah yang diteladani alamarhum. Dia selalu bangun pagi-pagi, dan berjalan seorang diri mengontrol proyek-proyek penting. Saya melakukan hal yang sama. Saya turun ke bawah, melihat sendiri. Melihat wajah-wajah, menggerakkan mereka. Saya mengambil keputusan tanpa keragu-raguan dan bergerak cepat. Dengan penuh energi.”

Pesan yang disampaikan begitu jelas, seorang pemimpin perubahan harus mempunyai visi ke depan. Visi yang tidak hanya untuk dirinya tetapi menjadi spirit dan penggerak bagi setiap orang yang mendengarnya.

KAMMI hari ini harus berbeda dengan waktu-waktu sebelumnya. Proses perbaikan harus terus-menerus dilakukan. Capaian organisasi pun harus terevaluasi dengan baik. Capaian-capaian tersebut bukan hanya untuk kemajuan bagi KAMMI tetapi kemajuan dakwah secara menyeluruh.

“Kita bekerja membuat sejarah. Sejarah yang berubah dari masa ke masa. Kita bekerja menciptakan sesuatu yang baru. Dan bila upaya itu selesai, kita sudah harus siap dengan hal baru lainnya. Langkah kita adalah bergerak ke depan, bukan menunggu masa depan menghampiri kita.” (Sheikh Mohammed)

Wallahu’alam bishshawab.

Referensi :

Arifin, Muzayyin. Prof. 2003. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta : PT Bumi Aksara.

Kasali, Rhenald. Ph.D. 2007. RE-CODE (YOUR CHANGE DNA : Membebaskan Belengu-belengu untuk Meraih Keberanian dan Keberhasilan dalam Pembaharuan). Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Tirtarahardja, Umar. Prof. 2000. Pengantar Pendidikan. Jakarta : PT Rineka Cipta.

Tsaqofah Kader

Mari kita simak apa yang dikatakan oleh Sheikh Mohammed :
“Saya tidak tahu apakah saya dapat disebut sebagai pemimpin yang baik, tetapi saya adalah seorang pemimpin. Dan saya mempunyai visi. Maka saya sudah membayangkan 20 tahun, 30 tahun ke depan. Saya belajar dari ayah saya, Sheikh Rashid. Dialah pemimpin, bapak bagi rakyat Dubai. Saya mengikuti langkah-langkah yang diteladani alamarhum. Dia selalu bangun pagi-pagi, dan berjalan seorang diri mengontrol proyek-proyek penting. Saya melakukan hal yang sama. Saya turun ke bawah, melihat sendiri. Melihat wajah-wajah, menggerakkan mereka. Saya mengambil keputusan tanpa keragu-raguan dan bergerak cepat. Dengan penuh energi.”