Pesta Demokrasi Indonesia

Pesta Demokrasi Indonesia
Pilih Pemimpin Yang Jujur, Adil, Bersih, dan Amanah

Rabu, 08 Oktober 2008

Pemimpin Muda Kembali Didorong Tampil di 2009

PALEMBANG - Desakan untuk melakukan regenerasi kepemimpinan nasional, kian didengungkan. Wacana untuk mencalonkan pemimpin muda sebagai calon presiden dalam Pemilu 2009 juga semakin marak. Salah satunya desakan itu datang dari Gerakan Persaudaraan Pemuda (Gema Keadilan).

"Sudah saatnya pemimpin muda tampil. Hasil Pilkada di berbagai daerah menunjukkan masyarakat memberikan tanggapan positif terhadap hadirnya pemimpin muda," kata Ketua Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Gema Keadilan, Rama Pratama dalam rilisnya kepada okezone, di acara pembukaan Rapimnas II Gema Keadilan di Palembang, Sabtu (17/5/2008).

Rama mengemukakan, kepemimpinan nasional tahun 2009 sebaiknya diikuti oleh orang-orang yang umurnya di bawah 55 tahun. Dia beralasan, persoalan bangsa demikian besar karenanya butuh pemimpin yang kuat, berani, inovatif, sekaligus memiliki jiwa kenegarawanan. Hal itu, kata Rama, bisa didapat dari pemimpim-pemimpin muda.

Sejarah bangsa Indonesia, lanjut Rama, menunjukkan kaum mudalah yang senantiasa menjadi pelopor perubahan. "Karenanya dalam kondisi bangsa terpuruk saat ini kepeloporan pemuda sangat dibutuhkan," jelas mantan aktivis mahasiswa 98 ini.

Bahkan Gema Keadilan, yang merupakan organisasi sayap pemuda Partai Keadilan Sejahtera (PKS), tegas meminta kepada Presiden PKS, yang hadir pada kesempatan tersebut, untuk tidak ragu-ragu memajukan kadernya dalam pertarungan capres/wapres 2009.

PKS, imbuh Rama, memiliki banyak kader muda yang layak untuk ditampilkan sebagai pimpinan nasional. Selain Presiden PKS Tifatul Sembiring, katanya, ada sejumlah kader muda PKS yang patut dicalonkan. Mereka adalah Hidayat Nurwahid (Ketua MPR), Anis Matta (Sekjen PKS), serta Adyaksa Dault (Menegpora).(ahm)

Rabu, 01 Oktober 2008

Hidup Ini Susah, Gara-Gara SBY-JK,,!!!


Cukup mengejutkan banyak orang ketika tragedi pembagian zakat di Pasuruan terjadi dan menewaskan 21 jiwa pada Senin 15 September kemarin.

Hampir tak dapat dibayangkan, ribuan orang datang dari berbagai desa hanya untuk menerima Rp30.000 dari Haji Syaichon. Jelas ini bukan perkara zakat per se.Ini representasi dari suatu keadaan kompleks fakta kemiskinan di Indonesia. Maka tak ada argumentasi lain yang paling fundamental di balik tragedi ini,selain bahwa inilah potret jernih dari kegagalan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) dalam menciptakan kesejahteraan sosial.

Selama ini Pemerintah berdebat soal data kemiskinan-bahkan SBY sendiri pernah terlibat benturan dengan Jenderal (Purn) Wiranto terkait data kemiskinan Indonesia.Ketua Partai Hanura itu mengutip data Bank Dunia dalam iklan politiknya yang menyatakan bahwa orang miskin di Indonesia mencapai 49,50%. Dalam lembar pidato Presiden SBY pada 15 Agustus 2008 kemarin pun masih terkuak jelas tendensi membalut fakta kemiskinan dengan angka statistik yang sebetulnya bisa direkayasa seperti dilakukan pada pidato kenegaraan HUT RI pada 16 Agustus 2006.

Dalam pidato itu Presiden begitu antusias menyatakan bahwa di masa pemerintahannya telah terjadi pengurangan tingkat kemiskinan penduduk Indonesia dari 23,4% pada 1999 menjadi 16% pada 2005.Tim Indonesia Bangkit (TIB) dan institusi lain mengonfrontasi bahwa data Presiden adalah data usang tahun 2005, yakni sebelum kenaikan harga BBM; padahal kenaikan harga BBM tersebut menyebabkan meningkatnya jumlah penduduk miskin.TIB lalu mencatat eskalasi angka kemiskinan dari 16% per Februari 2005 menjadi 18,7% per Juli 2005 dan 22% pada Maret 2006 (Mediya Lukman, 2006)

***

Tragedi Pasuruan mengakhiri spekulasi dan apologi tentang kemiskinan di Indonesia. Adalah kenyataan yang tak terhindarkan bahwa kemiskinan merupakan kegagalan paling mendasar dari seluruh pemerintah sejak awal berdirinya negara ini. SBY-JK harus menjadi pihak yang paling bertanggung jawab karena sejak awal kampanye kemiskinan selalu dijadikan komoditas politik.SBY-JK berjanji dari tahun ke tahun, bahkan dengan amat meyakinkan,bahwa kemiskinan menjadi masalah prioritas untuk dituntaskan.

Faktanya, pemerintah gagal dan data statistik Badan Pusat Statistik (BPS) yang melansir kemiskinan menurun dari rata-rata 17% pada tahun 2006 ke 16% pada tahun 2007 tidak sepenuhnya representatif dan objektif. Tragedi ini merupakan titik renung paling kritis bagi pemerintah untuk mengevaluasi kinerjanya selama empat tahun yang telah berlalu. Sudah tak ada lagi waktu untuk membenahi keadaan, karena pemerintah harus memikirkan langkah pemenangan Pemilu 2009.

Kita lihat saja, SBY sudah memasang iklan politik, meskipun dalam kapasitas sebagai ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Pemerintah tak lagi mampu untuk mengubah bandul.Perubahan hanya mungkin setelah Pemilu 2009, dengan catatan bahwa muncul pemimpin yang benarbenar memiliki visi dan misi untuk berpihak pada orang miskin. Suatu kepemimpinan yang menempatkan rakyat sebagai tujuan kekuasaan,bukan sekadar alat untuk meraih suara dalam pemilu.

***
Kompleksitas kemiskinan di Indonesia tak gampang diselesaikan hanya dengan model kepemimpinan yang image-oriented, yakni pemerintahan yang selalu berorientasi pada keselamatan citra. Padahal semua orang pun tahu,kepemimpinan sama sekali tak berhubungan dengan citra pribadi.Kepemimpinan menyangkut nasib seluruh rakyat.Perkara kita bukan soal memahami atau tidak memahami postulat teleologi kekuasaan, melainkan apakah punya atau tidak punya komitmen untuk mengabdi.Selama ini,komitmen inilah yang absen dari proses politik.

Ketika SBY-JK pertama kali muncul, seluruh komponen mengharapkan perubahan radikal.Tapi setelah 4 tahun, tetap bergeming. Kotak Pandora permasalahan bangsa ini-yang berkaitan langsung dengan keselamatan rakyat-sama sekali belum terbuka. Apakah salah SBY-JK menempatkan menteri dalam kabinetnya? Apakah ini salah para penasihat yang selalu membisingkan telinga SBY-JK di balik layar? Apakah ini salah para rent-seekers yang menumpuk untung dengan memanipulasi keputusan pemerintah? Atau ini salah SBY-JK sendiri?

Pada titik paling ujung, karena ini menyangkut pemerintahan demokratis yang menganut pola kerja kolegial, kita hanya bisa mempersalahkan SBY-JK karena merekalah yang berada pada puncak paling atas dari piramida kekuasaan ini dan karenanya dalam hierarki liabilitas moral-politik harus paling bertanggung jawab. Saya amat kaget mendengar wawancara Menteri Agama di salah satu stasiun televisi swasta yang tendensius mempersalahkan korban karena telah dengan keputusan sendiri datang ke rumah Haji Syaichon. Apakah masalahnya sebegitu entengnya untuk disederhanakan?

Bukankah kematian 21 orang miskin itu duka nasional yang harus diratapi oleh mereka yang hidup dari jabatan politik? Bukankah kemiskinan rakyat berkah bagi politisi yang sering kali menjual orang miskin untuk meraih posisi? Di sini kita berbicara tentang postulat moral. Bahwa hakikinya, politik itu menyangkut kemaslahatan umum. Siapa pun yang memangku jabatan politik selalu sadar untuk bertanggung jawab atas persoalan-persoalan riil yang berkaitan dengan hidup rakyat.

Sayangnya, hampir tak ada elite politik yang memiliki sense of solidarity dalam konteks moral ini. Ucapan prihatin itu banyak, tapi semuanya politis. Bangsa ini tak akan pernah bangkit dan membangun dirinya menjadi bangsa bermartabat dan berwibawa di dunia internasional kalau tidak mulai dari sekarang belajar menghargai rakyatnya yang paling miskin. (*)

Boni Hargens
Dosen Ilmu Politik UI, Direktur Pusat Pengkajian Strategis Merdeka

Iklan Politik, Apa Salahnya?

Sejak beberapa bulan terakhir kita banyak disuguhi iklan politik, terutama iklan bakal calon presiden Sutrisno Bachir, Rizal Mallarangeng, dan Prabowo Subijanto. Ada kesamaan pendekatan (appeal) di antara ketiganya. Mereka memilih "isu nasionalisme" sebagai strategi pesan iklannya.

Penampilan ketiganya yang boleh dikatakan teramat sering, terutama di televisi, mau tak mau membangkitkan pertanyaan. Di antaranya ada yang mengkritik dari faktor isi iklan: benarkah ketiganya begitu peduli pada nasib bangsa Indonesia?

Benarkah isi iklan itu mencerminkan jati diri mereka yang sebenarnya sebagai figur yang sangat dekat dengan kebutuhan rakyat? Kita menyaksikan ketiga calon itu menunjukkan kepedulian yang luar biasa pada kondisi sosial ekonomi masyarakat kita.

Ada pula yang mengkritiknya dari aspek pendanaan. Berapa besar uang yang mereka miliki mengingat iklan itu barang mewah, mulai dari pembuatannya sampai pemuatannya di media? Ambillah harga termurah, misalnya rata-rata satu juta rupiah untuk sekali tayang 30 detik di waktu non-prime time.

Berapa uang mesti dikeluarkan jika sebuah iklan tayang 2 x 24 jam x 30 hari x 6 stasiun TV? Berapa besar jika ditayangkan dalam waktu satu tahun? Dari mana uang sebanyak itu?

Belum lagi untuk perancangan dan pemasangan iklan di billboard, yang harganya bisa mencapai angka ratusan juta hingga miliaran rupiah sesuai lokasi. Tentu saja kita juga tak bisa memasang iklan secara gratis di koran, majalah, radio, media on-line, bahkan di blog milik seseorang.

Memang harus diakui bahwa iklan yang mereka sampaikan sudah berhasil. Salah satu indikator iklan yang berhasil adalah iklan yang menjadi buah bibir masyarakat. Semakin banyak yang membicarakan, semakin berhasil iklan tersebut. Faktanya iklan mereka banyak diperbincangkan tak kurang oleh para profesor dan para politisi, karuan pula praktisi media dan pemerhati komunikasi politik.

Etika Dasar Iklan

Kehadiran iklan-iklan itu seakan mengganggu kehidupan sosial kita ketimbang memberikan jalan keluar. Ini dikarenakan ada unsur manipulatif di dalamnya. Tidak semua fakta tentang diri sang calon ditampilkan.

Bahkan ada beberapa bagian yang terkesan bertolak belakang dengan hal yang sebenarnya. Tapi apalah daya, itulah iklan. Prinsip dasarnya adalah menciptakan kebutuhan.

Pengiklan bermaksud mempersuasi khalayak agar mau membeli produk yang diiklankan. Untuk ini pendekatan pesan dan strategi media dilakukan. Hanya kata dan gambar serta unsur-unsur iklan lainnya yang memiliki stopping power yang digunakan dalam iklan. Iklan adalah kehendak pengiklan.

Artinya, seperti apa dia beriklan tergantung pada keinginan dalam menampilkan produknya di mata publik. Kita tak boleh lupa bahwa iklan ialah produk komunikasi yang dibayar oleh pengiklan. Tak ada yang gratis dalam iklan. Kalau harus membayar, mengapa tidak digunakan untuk kepentingan pribadi? Begitu kira-kira alasan sederhana setiap pengiklan.

Karena itu tak mengherankan jika para politikus kita yang beriklan menyatakan diri sebagai tokoh heroik bagi bangsanya, tak peduli latar belakang masa lalu dan masa kininya. Mereka membayangkan, sebagai calon presiden seharusnya tampil dengan sosok yang committed terhadap kebangsaan, kerakyatan, dan kenegaraan.

Apakah hal itu melanggar etika umum? Sejauh isi iklannya tidak merusak kesehatan moral masyarakat, tidak mengapa. Bagaimana hal dengan adanya unsur manipulasi karena bakal calon presiden itu tidak menampilkan diri secara utuh? Sebagai bagian dari promosi, iklan berpihak pada kepentingan penjualan, bukan pada pengungkapan fakta.

Sebaliknya dengan pemberitaan. Etika dasar pemberitaan adalah pengungkapan fakta apa adanya. Jika ada berita dibingkai untuk mengunggulkan calon presiden tertentu itu namanya telah melanggar etika pemberitaan. Menurut etika pemberitaan, tak boleh berita dijadikan iklan! Ini juga artinya jika ingin mengetahui rekam jejak dari para calon, carilah dalam pemberitaan, bukan dalam periklanan mereka.

Leader as Communicator

Kalaupun ada yang bisa disalahkan dari iklan-iklan para bakal calon presiden tersebut adalah berkenaan dengan mereka sebagai (calon) pemimpin yang berkomunikasi dengan (calon) yang dipimpinnya. Sebaiknya diketahui ada tiga hal mendasar berkaitan dengan pemimpin sebagai komunikator (Mai and Akerson, 2003).

Pertama, komitmen terhadap organisasi dan tujuannya. Seorang pemimpin harus memiliki tekad yang kuat untuk mencapai tujuan organisasinya (negaranya). Dari aspek ini iklan-iklan politik yang ada belum sepenuhnya mengarah pada upaya pencapaian empat tujuan kita berorganisasi dalam bentuk negara seperti yang diamanatkan Pembukaan UUD 1945.

Kedua, paham dan sadar atas prioritas tujuan organisasi. Tampak dari iklan-iklan yang ada mereka belum sepenuhnya menunjukkan prioritas apa yang hendak dicapai kelak jika menjadi pemimpin negara ini. Kita semua tahu bahwa negara dalam bahaya ancaman korupsi, angka kemiskinan yang masih tinggi, dan ketergantungan pada asing yang mendekati absolut. Kita merindukan pemimpin yang mampu menuntaskan ketiga penyakit yang telah lama menggerogoti negara kita itu.

Ketiga, bertekad dan mampu untuk menolong organisasi menjadi lebih baik. Hampir semua warga merasakan bahwa negara kita berada dalam keterpurukan multidemensional yang berkepanjangan. Banyaknya perilaku asosial baik yang dilakukan oleh aparat terutama korupsi maupun oleh masyarakat terutama ketidakpatuhan sosial, menyebabkan negara bak kendaraan yang kelebihan beban. Membuat negara kita bergerak amat lamban mengejar berbagai ketertinggalan.

Kita membutuhkan seorang pemimpin yang mampu menyelamatkan bangsa ini dari keterpurukan keterpurukan itu. Sayangnya calon-calon pemimpin yang beriklan itu belum sepenuhnya menunjukkan kesiapannya melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Kita tunggu!(*)

Ibnu Hamad
Dosek Ilmu KOmunikasi FISIP UI

Wilayah RI Diterobos Lagi


Ketika berada di Papua beberapa waktu lalu, saya berbincang- bincang dengan seorang perwira TNI yang sudah lama bertugas di sana.

Dengan nada guyon, tetapi nyata dia mengatakan bahwa ketika pesawat terbang asing menerobos perbatasan dan masuk teritori Indonesia di Papua, sekujur tubuh tentara kita yang bertugas menjaga perbatasan di sana sudah terlebih dahulu "menggigil" sebelum mampu memberi tanda peringatan, menembak atau melakukan perlawanan semestinya.

Itu tidak saja disebabkan terbatasnya kemampuan peralatan yang dimiliki dan kondisi posko di perbatasan yang begitu memprihatinkan, tetapi lebih dari itu karena banyak tentara kita di sana telah terlebih dahulu terjangkit malaria yang mengakibatkan badan mereka panas dan menggigil.

Pesan penting yang dapat dipetik dari "guyon" ini adalah bahwa kondisi fisik, pelayanan, dan fasilitas pasukan keamanan yang bertugas menjaga perbatasan wilayah RI--tidak hanya di Papua--harus diperhatikan agar lebih baik dan pantas. Lagipula, belasan pos penjagaan di sepanjang perbatasan RI (Provinsi Papua) dan Papua Nugini (PNG) terletak di lokasi yang sangat terpencil dan rawan malaria.

Menerobos

Terkait dengan kondisi pengamanan wilayah udara Indonesia, khususnya di daerah perbatasan Papua- PNG-Australia, beberapa hari lalu lima warga Australia menggunakan pesawat Cape Air Transport P-68 memasuki wilayah Indonesia secara ilegal.

Tak satu pun di antara mereka memiliki dokumen seperti visa dan izin terbang. Mereka adalah pasangan suami istri William Hendry Scott Bloxam dan Vera Scott Bloxam, Hubert Hofer, Karen Burke, dan Ket Rowald Mortimer.Semuanya menjalani pemeriksaan intensif di Merauke.

Belum ada kejelasan final tentang motivasi dan tujuan orang-orang itu masuk Indonesia. Kehabisan bahan bakar? Tidak mungkin karena bahan bakar pesawat masih cukup. Kerusakan pesawat? Tidak juga. Tersasar? Tidak mungkin karena mereka bukan sekelas nelayan tradisional Indonesia yang sering mencari ikan di perbatasan Indonesia-Australia dan acap ditangkapi penjaga perbatasan Australia.

Ini yang kemudian mengundang kecurigaan sangat serius berbagai kalangan di Indonesia. Apalagi jika dikaitkan dengan kondisi sosial politik, ekonomi, dan keamanan Papua selama ini dan kemungkinan adanya kepentingan terselubung berbagai pihak asing atas situasi dan kondisi tersebut.

Terakhir Menteri Pertahanan RI mengungkap bahwa mereka masuk Indonesia untuk menjajaki bisnis wisata di Papua! Wah, betapa "sederhananya" memasuki teritorial negara lain, dilakukan oleh warga dari negara maju dan berpendidikan baik. Yang pasti, menurut UU No 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, setiap orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia tanpa melalui pemeriksaan oleh pejabat imigrasi di tempat pemeriksaan imigrasi dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp15 juta.

Lalu, kasus "membawa" atau "memasukkan" pesawat terbang tanpa dokumen yang sah tentu terkait pula dengan ranah hukum lain.

Renungkan

Terlepas dari proses hukum selanjutnya terhadap pelanggar wilayah warga Australia itu, ada beberapa catatan penting yang perlu kita renungkan dari kasus tersebut. Pertama, pengawasan dan penegakan keamanan di seluruh wilayah perbatasan RI dengan negara tetangga harus lebih ditingkatkan karena selama ini kita masih lemah.

Pelanggaran wilayah RI oleh berbagai pihak dan armada asing, baik melalui darat, laut maupun udara sudah sering terjadi dan bahkan sudah berlangsung lama, terutama terjadi di wilayah Indonesia bagian timur, termasuk di alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) III. Jangankan di daerah perbatasan yang rawan, jauh di dalam wilayah Indonesia saja telah terjadi berbagai pelanggaran oleh penerbangan asing.

Masih segar dalam ingatan kita, helikopter Mi-8 tanpa dokumen yang mengangkut lima warga negara Rusia dan seorang warga Australia dipaksa mendarat di Makassar setelah terdeteksi radar Pangkalan Udara Hasanuddin.

Pesawat tempur Amerika Serikat F-18 Hornet juga pernah bermanuver di perairan Pulau Bawean, Jawa Timur tanpa izin Indonesia. Hal yang sama juga terjadi di kawasan Indonesia bagian barat, terutama di sekitar Selat Malaka. Sementara satuan radar di Biak memonitor pula bahwa rata-rata sehari ada tiga pesawat asing masuk wilayah Indonesia tanpa izin.

Pelanggaran-pelanggaran tersebut belum termasuk yang terjadi di laut, terutama kapal-kapal nelayan asing yang sering melakukan pencurian ikan di perairan Indonesia. Di perairan Merauke saja, sekitar 7.000 kapal nelayan asing beroperasi setiap tahun. Tidak begitu jelas mana yang legal dan mana yang ilegal.

Kedua, Indonesia dan negara-negara tetangga harus merapatkan barisan dan mempererat kerja sama pengawasan lalu lintas barang dan orang.Kerja sama tersebut tidak hanya "cantik" di atas kertas, tetapi juga menjadi fakta yang benar-benar diterapkan dengan baik di lapangan. Sejauh ini, hubungan dan kerja sama Indonesia dengan negara-negara tetangga Australia, PNG, Filipina, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam pada tingkat pemerintah umumnya telah berjalan baik.

Namun dengan masih ditemukannya sejumlah pelanggaran yang tidak diinginkan, berarti masih ada sesuatu yang belum berjalan sebagaimana mestinya. Ketiga, semakin kita menyadari bahwa pembangunan di daerah perbatasan Indonesia dengan negara lain menjadi sangat penting. Pembangunan infrastruktur dan nasionalisme masyarakat yang terpelihara dengan baik sangat erat kaitannya dan penting dalam upaya pengamanan teritorial dan peningkatan kualitas sosial ekonomi masyarakat di perbatasan.

Sering terjadi selama ini, merawat dan menjaga sekitar 24 patok batas Indonesia-PNG saja di perbatasan sepanjang 800 km bukan main sulitnya. Terkait itu, kesuksesan pembangunan di perbatasan tidak hanya tergantung pada pemerintah pusat, tetapi pemerintah di daerah justru memiliki peran sangat penting dan strategis. (*)

Al Busyra Basnur
Pengamat Internasional (//mbs)

Tsaqofah Kader

Mari kita simak apa yang dikatakan oleh Sheikh Mohammed :
“Saya tidak tahu apakah saya dapat disebut sebagai pemimpin yang baik, tetapi saya adalah seorang pemimpin. Dan saya mempunyai visi. Maka saya sudah membayangkan 20 tahun, 30 tahun ke depan. Saya belajar dari ayah saya, Sheikh Rashid. Dialah pemimpin, bapak bagi rakyat Dubai. Saya mengikuti langkah-langkah yang diteladani alamarhum. Dia selalu bangun pagi-pagi, dan berjalan seorang diri mengontrol proyek-proyek penting. Saya melakukan hal yang sama. Saya turun ke bawah, melihat sendiri. Melihat wajah-wajah, menggerakkan mereka. Saya mengambil keputusan tanpa keragu-raguan dan bergerak cepat. Dengan penuh energi.”