Cukup mengejutkan banyak orang ketika tragedi pembagian zakat di Pasuruan terjadi dan menewaskan 21 jiwa pada Senin 15 September kemarin.
Hampir tak dapat dibayangkan, ribuan orang datang dari berbagai desa hanya untuk menerima Rp30.000 dari Haji Syaichon. Jelas ini bukan perkara zakat per se.Ini representasi dari suatu keadaan kompleks fakta kemiskinan di Indonesia. Maka tak ada argumentasi lain yang paling fundamental di balik tragedi ini,selain bahwa inilah potret jernih dari kegagalan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) dalam menciptakan kesejahteraan sosial.
Selama ini Pemerintah berdebat soal data kemiskinan-bahkan SBY sendiri pernah terlibat benturan dengan Jenderal (Purn) Wiranto terkait data kemiskinan Indonesia.Ketua Partai Hanura itu mengutip data Bank Dunia dalam iklan politiknya yang menyatakan bahwa orang miskin di Indonesia mencapai 49,50%. Dalam lembar pidato Presiden SBY pada 15 Agustus 2008 kemarin pun masih terkuak jelas tendensi membalut fakta kemiskinan dengan angka statistik yang sebetulnya bisa direkayasa seperti dilakukan pada pidato kenegaraan HUT RI pada 16 Agustus 2006.
Dalam pidato itu Presiden begitu antusias menyatakan bahwa di masa pemerintahannya telah terjadi pengurangan tingkat kemiskinan penduduk Indonesia dari 23,4% pada 1999 menjadi 16% pada 2005.Tim Indonesia Bangkit (TIB) dan institusi lain mengonfrontasi bahwa data Presiden adalah data usang tahun 2005, yakni sebelum kenaikan harga BBM; padahal kenaikan harga BBM tersebut menyebabkan meningkatnya jumlah penduduk miskin.TIB lalu mencatat eskalasi angka kemiskinan dari 16% per Februari 2005 menjadi 18,7% per Juli 2005 dan 22% pada Maret 2006 (Mediya Lukman, 2006)
***
Tragedi Pasuruan mengakhiri spekulasi dan apologi tentang kemiskinan di Indonesia. Adalah kenyataan yang tak terhindarkan bahwa kemiskinan merupakan kegagalan paling mendasar dari seluruh pemerintah sejak awal berdirinya negara ini. SBY-JK harus menjadi pihak yang paling bertanggung jawab karena sejak awal kampanye kemiskinan selalu dijadikan komoditas politik.SBY-JK berjanji dari tahun ke tahun, bahkan dengan amat meyakinkan,bahwa kemiskinan menjadi masalah prioritas untuk dituntaskan.
Faktanya, pemerintah gagal dan data statistik Badan Pusat Statistik (BPS) yang melansir kemiskinan menurun dari rata-rata 17% pada tahun 2006 ke 16% pada tahun 2007 tidak sepenuhnya representatif dan objektif. Tragedi ini merupakan titik renung paling kritis bagi pemerintah untuk mengevaluasi kinerjanya selama empat tahun yang telah berlalu. Sudah tak ada lagi waktu untuk membenahi keadaan, karena pemerintah harus memikirkan langkah pemenangan Pemilu 2009.
Kita lihat saja, SBY sudah memasang iklan politik, meskipun dalam kapasitas sebagai ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Pemerintah tak lagi mampu untuk mengubah bandul.Perubahan hanya mungkin setelah Pemilu 2009, dengan catatan bahwa muncul pemimpin yang benarbenar memiliki visi dan misi untuk berpihak pada orang miskin. Suatu kepemimpinan yang menempatkan rakyat sebagai tujuan kekuasaan,bukan sekadar alat untuk meraih suara dalam pemilu.
***
Kompleksitas kemiskinan di Indonesia tak gampang diselesaikan hanya dengan model kepemimpinan yang image-oriented, yakni pemerintahan yang selalu berorientasi pada keselamatan citra. Padahal semua orang pun tahu,kepemimpinan sama sekali tak berhubungan dengan citra pribadi.Kepemimpinan menyangkut nasib seluruh rakyat.Perkara kita bukan soal memahami atau tidak memahami postulat teleologi kekuasaan, melainkan apakah punya atau tidak punya komitmen untuk mengabdi.Selama ini,komitmen inilah yang absen dari proses politik.
Ketika SBY-JK pertama kali muncul, seluruh komponen mengharapkan perubahan radikal.Tapi setelah 4 tahun, tetap bergeming. Kotak Pandora permasalahan bangsa ini-yang berkaitan langsung dengan keselamatan rakyat-sama sekali belum terbuka. Apakah salah SBY-JK menempatkan menteri dalam kabinetnya? Apakah ini salah para penasihat yang selalu membisingkan telinga SBY-JK di balik layar? Apakah ini salah para rent-seekers yang menumpuk untung dengan memanipulasi keputusan pemerintah? Atau ini salah SBY-JK sendiri?
Pada titik paling ujung, karena ini menyangkut pemerintahan demokratis yang menganut pola kerja kolegial, kita hanya bisa mempersalahkan SBY-JK karena merekalah yang berada pada puncak paling atas dari piramida kekuasaan ini dan karenanya dalam hierarki liabilitas moral-politik harus paling bertanggung jawab. Saya amat kaget mendengar wawancara Menteri Agama di salah satu stasiun televisi swasta yang tendensius mempersalahkan korban karena telah dengan keputusan sendiri datang ke rumah Haji Syaichon. Apakah masalahnya sebegitu entengnya untuk disederhanakan?
Bukankah kematian 21 orang miskin itu duka nasional yang harus diratapi oleh mereka yang hidup dari jabatan politik? Bukankah kemiskinan rakyat berkah bagi politisi yang sering kali menjual orang miskin untuk meraih posisi? Di sini kita berbicara tentang postulat moral. Bahwa hakikinya, politik itu menyangkut kemaslahatan umum. Siapa pun yang memangku jabatan politik selalu sadar untuk bertanggung jawab atas persoalan-persoalan riil yang berkaitan dengan hidup rakyat.
Sayangnya, hampir tak ada elite politik yang memiliki sense of solidarity dalam konteks moral ini. Ucapan prihatin itu banyak, tapi semuanya politis. Bangsa ini tak akan pernah bangkit dan membangun dirinya menjadi bangsa bermartabat dan berwibawa di dunia internasional kalau tidak mulai dari sekarang belajar menghargai rakyatnya yang paling miskin. (*)
Boni Hargens
Dosen Ilmu Politik UI, Direktur Pusat Pengkajian Strategis Merdeka