Pesta Demokrasi Indonesia

Pesta Demokrasi Indonesia
Pilih Pemimpin Yang Jujur, Adil, Bersih, dan Amanah

Jumat, 30 Januari 2009

SOSIALISASI MELAWAN GOLPUT


Partai Golkar mengakui, berdasarkan data hasil pemilihan langsung kepala daerah (pilkada) selama ini di Indonesia, persentase pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya alias golongan putih (golput) dalam pilkada cukup besar, bervariasi dari 30 hingga 40 persen.
Meski demikian, Partai Golkar optimistis angka pemilih yang menggunakan haknya dalam Pemilu 2009 justru akan cukup besar, yaitu di atas 60 persen. Angka golput justru akan berkurang pada pemilu legilsaltif, April mendatang.
Untuk itu, Partai Golkar bukan mengandalkan sosialisasi keikutsertaan para pemilih dalam Pemilu 2009 kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU), melainkan diserahkan kepada para calon legislatif Partai Golkar dan mesin partai, yaitu fungsional dan pengurus partai.
Demikian disampaikan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar Soemarsono kepada Kompas di Kantor DPP Partai Golkar, Slipi, Jakarta, Senin (12/1) petang tadi.
"Untuk melawan golput, kami tak bisa mengandalkan KPU dalam melakukan sosialisasi. Kami sepenuhnya menyerahkan peranan tersebut kepada para caleg Partai Golkar dan mesin politik. Jadi, mereka yang harus banyak berperan di daerah pemilihannya masing-masing," ujarnya.
Menurut Soemarsono, merujuk pada angka golput selama pilkada dilakukan, ada kecenderungan angka golput bertambah terus. Akan tetapi, jika peranan para caleg dan mesin partai benar-benar maksimal, maka dengan sendirinya golput akan terminimalkan.
Dengan kampanye para caleg yang langsung di dapilnya, maka para caleg bisa secara langsung mensosialisasikan, termasuk untuk memilihnya. Para pemilih akan bisa menentukan pilihannya jika para caleg datang ke dapilnya karena para pemilih bisa melihat track record para caleg dan kinerjanya.
"Para caleg tentu tidak mau dirinya ikut terdegradasi dengan kasus-kasus anggota DPR yang sekarang ini, seperti kasus korupsi dan lainnya," jelasnya.
Dikatakan Soemarsono, dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal suara terbanyak, otomatis akan semakin banyak caleg dari seluruh partai politik yang akan berkampanye agar para pemilih tidak golput, tetapi justru menggunakan hak pilihnya.
"Akan tetapi, kita belum tahu angkanya, berapa yang menggunakan hak pilihnya dan yang golput. Partai Golkar masih mengkajinya," demikian Soemarsono.

PEMILU 2009 TERANCAM GUGATAN



[JAKARTA] Legitimasi legal Pemilu 2009 terancam menuai kecaman dan gugatan hukum dari partai politik yang merasa dirugikan oleh peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pasalnya, untuk penelitian keabsahan syarat anggota, KPU menggunakan teknik sampel acak (random sampling).
Padahal, meneliti keabsahan syarat anggota sekurang-kurangnya 1.000 orang atau satu per seribu dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan parpol yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota, tidak dapat dilakukan dengan menggunakan teknik sampling.
"Berbagai teknik sampling adalah instrumen lembaga survei yang dapat dipertanggung jawabkan secara akademis penggunaannya terutama untuk prediksi misalnya untuk exit poll atau quick count," kata mantan Anggota KPU yang juga Direktur Eksekutif 7 (Seven) Strategic Studies, Mulyana Kusumah, dalam keterangan tertulis yang diterima SP, Kamis (17/4).
Mulyana menjelaskan, exit poll adalah metode untuk mengetahui opini publik setelah pemilih keluar dari bilik suara dengan teknik sampel tertentu untuk memilih responden. Sementara penghitungan cepat (quick count) adalah proses penghitungan cepat yang dilaksanakan berdasarkan data tempat pemungutan suara yang dipilih melalui sampling.
Tetapi, sambungnya, dua metode itu secara yuridis tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk kepentingan pembuktian. Penggunaan teknik sampel harus memenuhi kaidah metodologis dimulai dari definisi populasi, target populasi, kerangka sampel, dan penentuan presisi sampel.
"Tidak bisa hanya ditentukan dengan mengambil dan meneliti secara acak 10 persen dari seluruh nama anggota partai politik pada kepengurusan di kabupaten/kota berjumlah di atas 100 orang anggota sebagaimana termuat dalam peraturan KPU itu," katanya.
Dalam peraturan KPU Nomor 12/2008 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Penelitian, Verifikasi dan Penetapan Parpol Menjadi Peserta Pemilu Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota 2009, Pasal 24 ayat (4) huruf a memang disebutkan KPU mengambil dan meneliti secara acak 10 persen dari seluruh nama anggota parpol pada kepengurusan di kabupaten/kota yang berjumlah di atas 100 orang anggota.
Mulyana mengingatkan, terdapat berbagai teknik sampel acak yang harus dapat dipertanggungjawabkan pemilihannya secara metodologis. Penggunaan sampel acak pun tidak bisa dilakukan asal-asalan. Ia juga menilai, pembuktian kepemilikan kartu tanda anggota parpol akan cacat hukum bila verifikasi faktual menggunakan teknik sampling.
Karena, ujarnya, secara yuridis tetap harus dibuktikan satu per satu. Jika di tingkat kepengurusan kabupaten/kota verifikasi faktual atas keanggotaan parpol dilakukan menggunakan sampel acak sebesar 10 persen, maka parpol yang diverifikasi faktual itu hanya terbukti memenuhi syarat memiliki 100 anggota bukan sekurang-kurangnya 1000 anggota. Teknik sampling itu juga akan membuka peluang terjadinya kecurangan politik. [L-10]
Sumber http://www.suarapembaruan.com/Foto http://www.google.co.id/

Syarat Calon Perseorangan Pemilu


Persyaratan calon independen yang mendaftar untuk menjadi kandidat dalam pemilu presiden (pilpres), pilkada gubernur (pilgub) maupun pilkada bupati (pilbup) dinilai di luar jangkauan kewajaran. Persyaratan tersebut mengharuskan kandidat mengumpulkan dukungan sebanyak 15% dari pendukungnya. Menurut Ketua DPD-RI, Ginanjar Kartasasmita, persyaratan tersebut jelas dibuat untuk menghambat majunya calon independen. Beliau pun berpendapat agar persyaratan tersebut diubah demi menegakkan demokrasi. Tambahnya, jelas sekali bahwa persyaratan tersebut dibuat untuk menjegal figur-figur non partai politik yang memiliki kapabilitas dan pantas memimpin bangsa ini.
Akibat persyaratan tersebut, akan banyak tokoh dan figur non parpol yang tidak memiliki kesempatan mengikuti proses pilpres, pilgub, maupun pilbup. Beliau pun mengambil contoh di daerah Jawa Barat yang berpenduduk sekitar 40 juta jiwa, maka seorang calon independent harus menyerahkan data dan identitas pendukungnya sekitar 1,2 juta jiwa. Betapa banyaknya dokumen yang terkumpul nantinya dan beliau pun tidak dapat membayangkan berapa lama KPUD harus melakukan verifikasi data tersebut. Apalagi jika calon independennya lebih dari satu orang.
Senada dengan Ginanjar, Koalisi Masyarakat Madani untuk Demokrasi mengatakan bahwa sejumlah syarat calon perseorangan yang dirumuskan anggota DPR di antaranya persyaratan dukungan dari total penduduk berdasarkan tingkat kepadatan penduduk di suatu wilayah dengan variasi antara 3% sampai 15% dari total jumlah penduduk.
Hal ini berarti untuk mencalonkan diri sebagai calon gubernur di Indonesia seorang calon dari jalur perseorangan harus mengumpulkan dukungan suara antara 300 ribu hingga 1,3 juta. Sementara untuk pilkada bupati dan walikota, calon harus mengumpulkan 15 ribu sampai 90 ribu suara dukungan. Tentunya dengan syarat seperti itu, hampir pasti di sebagian besar daerah para calon perseorangan tidak mungkin mampu memenuhinya.
Para pengamat lainnya juga menilai bahwa sebagian besar anggota DPR masih ketakutan ada calon lain dari luar partai politik. Para pengamat tersebut melihat persyaratan yang dibuat DPR sama dengan menjegal calon perseorangan, padahal sudah diamanatkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tanggal 23 Juli 2007. Keputusan MK tersebut memerintahkan kepada pembuat undang-undang, yakni DPR, agar menetapkan hak politik bagi tiap-tiap warga negara, bukan justru menjegal atau memotongnya.
Selain itu, juga ada persyaratan dimana harus ada jumlah deposito yang disetorkan. Para pengamat politik menilai hal ini rawan terjadinya permainan uang. Tidak ada syarat deposit saja ada permainan uang, apalagi jika persyaratan tersebut tegas diharuskan. Rumusan DPR tersebut sama saja dengan membuka yuridis formal yakni adanya putusan MK, tapi tidak memberikan apa-apa kepada masyarakat. Partai pun menjadi alat melakukan praktek politik uang dan alat kekuasaan.
Sedangkan para perwakilan partai politik sendiri menunjukkan sikap legowo dengan adanya calon non parpol tersebut. Fraksi Partai Golkar misalnya menginginkan agar calon perseorangan tidak dibedakan dan diberi syarat yang sama beratnya dengan partai politik. Menurutnya, hal ini adalah demi rasa keadilan pada parpol. Hal senada juga diungkapkan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP).

Sumber:
http://www.antara.co.id/
http://www.media-indonesia.com/

Tsaqofah Kader

Mari kita simak apa yang dikatakan oleh Sheikh Mohammed :
“Saya tidak tahu apakah saya dapat disebut sebagai pemimpin yang baik, tetapi saya adalah seorang pemimpin. Dan saya mempunyai visi. Maka saya sudah membayangkan 20 tahun, 30 tahun ke depan. Saya belajar dari ayah saya, Sheikh Rashid. Dialah pemimpin, bapak bagi rakyat Dubai. Saya mengikuti langkah-langkah yang diteladani alamarhum. Dia selalu bangun pagi-pagi, dan berjalan seorang diri mengontrol proyek-proyek penting. Saya melakukan hal yang sama. Saya turun ke bawah, melihat sendiri. Melihat wajah-wajah, menggerakkan mereka. Saya mengambil keputusan tanpa keragu-raguan dan bergerak cepat. Dengan penuh energi.”