
Dengan nada guyon, tetapi nyata dia mengatakan bahwa ketika pesawat terbang asing menerobos perbatasan dan masuk teritori Indonesia di Papua, sekujur tubuh tentara kita yang bertugas menjaga perbatasan di sana sudah terlebih dahulu "menggigil" sebelum mampu memberi tanda peringatan, menembak atau melakukan perlawanan semestinya.
Itu tidak saja disebabkan terbatasnya kemampuan peralatan yang dimiliki dan kondisi posko di perbatasan yang begitu memprihatinkan, tetapi lebih dari itu karena banyak tentara kita di sana telah terlebih dahulu terjangkit malaria yang mengakibatkan badan mereka panas dan menggigil.
Pesan penting yang dapat dipetik dari "guyon" ini adalah bahwa kondisi fisik, pelayanan, dan fasilitas pasukan keamanan yang bertugas menjaga perbatasan wilayah RI--tidak hanya di Papua--harus diperhatikan agar lebih baik dan pantas. Lagipula, belasan pos penjagaan di sepanjang perbatasan RI (Provinsi Papua) dan Papua Nugini (PNG) terletak di lokasi yang sangat terpencil dan rawan malaria.
Menerobos
Terkait dengan kondisi pengamanan wilayah udara Indonesia, khususnya di daerah perbatasan Papua- PNG-Australia, beberapa hari lalu lima warga Australia menggunakan pesawat Cape Air Transport P-68 memasuki wilayah Indonesia secara ilegal.
Tak satu pun di antara mereka memiliki dokumen seperti visa dan izin terbang. Mereka adalah pasangan suami istri William Hendry Scott Bloxam dan Vera Scott Bloxam, Hubert Hofer, Karen Burke, dan Ket Rowald Mortimer.Semuanya menjalani pemeriksaan intensif di Merauke.
Belum ada kejelasan final tentang motivasi dan tujuan orang-orang itu masuk Indonesia. Kehabisan bahan bakar? Tidak mungkin karena bahan bakar pesawat masih cukup. Kerusakan pesawat? Tidak juga. Tersasar? Tidak mungkin karena mereka bukan sekelas nelayan tradisional Indonesia yang sering mencari ikan di perbatasan Indonesia-Australia dan acap ditangkapi penjaga perbatasan Australia.
Ini yang kemudian mengundang kecurigaan sangat serius berbagai kalangan di Indonesia. Apalagi jika dikaitkan dengan kondisi sosial politik, ekonomi, dan keamanan Papua selama ini dan kemungkinan adanya kepentingan terselubung berbagai pihak asing atas situasi dan kondisi tersebut.
Terakhir Menteri Pertahanan RI mengungkap bahwa mereka masuk Indonesia untuk menjajaki bisnis wisata di Papua! Wah, betapa "sederhananya" memasuki teritorial negara lain, dilakukan oleh warga dari negara maju dan berpendidikan baik. Yang pasti, menurut UU No 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, setiap orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia tanpa melalui pemeriksaan oleh pejabat imigrasi di tempat pemeriksaan imigrasi dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp15 juta.
Lalu, kasus "membawa" atau "memasukkan" pesawat terbang tanpa dokumen yang sah tentu terkait pula dengan ranah hukum lain.
Renungkan
Terlepas dari proses hukum selanjutnya terhadap pelanggar wilayah warga Australia itu, ada beberapa catatan penting yang perlu kita renungkan dari kasus tersebut. Pertama, pengawasan dan penegakan keamanan di seluruh wilayah perbatasan RI dengan negara tetangga harus lebih ditingkatkan karena selama ini kita masih lemah.
Pelanggaran wilayah RI oleh berbagai pihak dan armada asing, baik melalui darat, laut maupun udara sudah sering terjadi dan bahkan sudah berlangsung lama, terutama terjadi di wilayah Indonesia bagian timur, termasuk di alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) III. Jangankan di daerah perbatasan yang rawan, jauh di dalam wilayah Indonesia saja telah terjadi berbagai pelanggaran oleh penerbangan asing.
Masih segar dalam ingatan kita, helikopter Mi-8 tanpa dokumen yang mengangkut lima warga negara Rusia dan seorang warga Australia dipaksa mendarat di Makassar setelah terdeteksi radar Pangkalan Udara Hasanuddin.
Pesawat tempur Amerika Serikat F-18 Hornet juga pernah bermanuver di perairan Pulau Bawean, Jawa Timur tanpa izin Indonesia. Hal yang sama juga terjadi di kawasan Indonesia bagian barat, terutama di sekitar Selat Malaka. Sementara satuan radar di Biak memonitor pula bahwa rata-rata sehari ada tiga pesawat asing masuk wilayah Indonesia tanpa izin.
Pelanggaran-pelanggaran tersebut belum termasuk yang terjadi di laut, terutama kapal-kapal nelayan asing yang sering melakukan pencurian ikan di perairan Indonesia. Di perairan Merauke saja, sekitar 7.000 kapal nelayan asing beroperasi setiap tahun. Tidak begitu jelas mana yang legal dan mana yang ilegal.
Kedua, Indonesia dan negara-negara tetangga harus merapatkan barisan dan mempererat kerja sama pengawasan lalu lintas barang dan orang.Kerja sama tersebut tidak hanya "cantik" di atas kertas, tetapi juga menjadi fakta yang benar-benar diterapkan dengan baik di lapangan. Sejauh ini, hubungan dan kerja sama Indonesia dengan negara-negara tetangga Australia, PNG, Filipina, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam pada tingkat pemerintah umumnya telah berjalan baik.
Namun dengan masih ditemukannya sejumlah pelanggaran yang tidak diinginkan, berarti masih ada sesuatu yang belum berjalan sebagaimana mestinya. Ketiga, semakin kita menyadari bahwa pembangunan di daerah perbatasan Indonesia dengan negara lain menjadi sangat penting. Pembangunan infrastruktur dan nasionalisme masyarakat yang terpelihara dengan baik sangat erat kaitannya dan penting dalam upaya pengamanan teritorial dan peningkatan kualitas sosial ekonomi masyarakat di perbatasan.
Sering terjadi selama ini, merawat dan menjaga sekitar 24 patok batas Indonesia-PNG saja di perbatasan sepanjang 800 km bukan main sulitnya. Terkait itu, kesuksesan pembangunan di perbatasan tidak hanya tergantung pada pemerintah pusat, tetapi pemerintah di daerah justru memiliki peran sangat penting dan strategis. (*)
Al Busyra Basnur
Pengamat Internasional (//mbs)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar